JAKARTA|wartamerdeka.com – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan korupsi di Indonesia bukan hanya masalah hukum semata, tetapi telah menjadi ancaman nyata terhadap sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara. Meskipun berbagai lembaga anti rasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan telah menangani permasalahan korupsi, realitasnya praktik korupsi di tanah air masih marak serta melibatkan penyelenggara negara dari tingkat pusat hingga daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan yang ada belum cukup efektif dan berkelanjutan.
“President Prabowo Subianto pernah mengungkapkan terlalu banyak kebocoran-kebocoran dari APBN kita akibat korupsi dan kolusi dari pejabat kita yang bersekongkol dengan para pengusaha. INDEF mengatakan rata-rata kebocoran APBN 30-40 persen per-tahun. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat di tahun 2023, terdapat 791 kasus korupsi dengan jumlah tersangka mencapai 1.695 orang serta kerugian negara mencapai Rp 28,4 triliun. Sementara, KPK mencatat dari tahun 2004 hingga 2023, sebanyak 344 anggota DPR dan DPRD, 161 bupati/wali kota dan 24 gubernur terjerat kasus korupsi. Data ini mencerminkan bahwa fenomena korupsi tidak hanya sulit diberantas, tetapi juga semakin meluas dan menjadi bagian dari sistem pemerintahan,” ujar Bamsoet usai fit and proper tes calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI Senayan Jakarta, yang berlangsung dari pagi pukul 08.30 WIB hingga malam pukul 22.00 WIB, Selasa (19/11/2024).
Fit and proper test calon pimpinan KPK hari kedua yang digelar dari siang hingga malam hari ini diikuti oleh enam calon. Keenam calon tersebut adalah
Ida Budhiati, Ibnu Basuki Widodo, Johanis Tanak, Djoko Poerwanto, Ahmad Alamsyah Saragih dan Agus Joko Pramono.
Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menilai salah satu faktor utama tingginya kasus korupsi adalah lemahnya pengawasan internal dan transparansi dalam pengelolaan anggaran negara mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan, sehingga mengakibatkan banyaknya terjadi kebocoran anggaran. Berdasarkan hasil riset dari Institute for Developmentof Economics and Finance (INDEF), menunjukkan bahwa sekitar 40 persen anggaran negara mengalami kebocoran setiap tahun, mengalir ke kantong para koruptor.
“Kolusi antara pejabat publik dan pengusaha juga menjadi faktor penggerak utama dalam praktik korupsi. Pejabat publik tidak segan bersekongkol dengan pihak swasta untuk meraih keuntungan pribadi dengan mengambil dari anggaran negara. Praktik ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah,” kata Bamsoet.
Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum, HAM, dan Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Politik dan Keamanan KADIN Indonesia ini menambahkan, rendahnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara turut memicu praktik korupsi. Banyak proyek pemerintah yang tidak jelas mekanisme pengawasannya, membuka peluang kongkalikong antara pejabat pemerintah dan sektor swasta. Kesepakatan yang tidak transparan juga sering kali menginvestasikan anggaran negara pada proyek-proyek yang tidak memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat.
“Budaya nepotisme dan patronase yang sudah mengakar dalam sistem pemerintahan turut memperburuk situasi. Hubungan yang tidak sehat antara birokrat dan pengusaha menciptakan iklim di mana korupsi dianggap sebagai hal yang biasa. Karena itu, penguatan integritas individu dan institusi pemerintah harus menjadi bagian dari agenda reformasi,” pungkas Bamsoet. (*)
Editor|Manwen.Wmc