banner 728x90

DOB Galela Loloda: Menyusun Peta Keadilan Perencanaan Pembangunan Indonesia dari Pinggiran

Foto S.s Manyila
Foto: S.S Manyila (Istimewah)
banner 120x600

Oleh: S.S Manyila

Wacana, pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Galela Loloda di Halmahera Utara Provinsi Maluku Utara telah menjadi aspirasi yang konsisten disuarakan oleh masyarakat mulai dari forum mahasiswa, akademisi, legislatif dan eksekutif sejak lebih dari satu dekade terakhir. Isu ini bukan sekadar produk dinamika politik lokal, melainkan tumbuh dari realitas ketimpangan pembangunan, keterisolasian wilayah, dan lemahnya akses masyarakat terhadap pelayanan dasar. Tulisan ini, akan meninjau urgensi DOB Galela Loloda melalui perspektif perencanaan spasial dan pembangunan wilayah, dua pendekatan penting dalam studi kebijakan regional.

Pemekaran dalam Perspektif Perencanaan Spasial atau spatial planning adalah suatu proses pengelolaan ruang wilayah secara menyeluruh, mencakup aspek ekologis, ekonomi, sosial, dan infrastruktur. Dalam konteks Indonesia yang luas dan berciri kepulauan, perencanaan spasial menjadi alat penting untuk memastikan pemerataan pembangunan dan efisiensi pelayanan.

Jika ditinjau dari teori pusat-pusat pertumbuhan (Central Place Theory – Christaller, 1933), maka pusat administrasi seperti Tobelo cenderung menjadi magnet pembangunan, sementara daerah seperti Galela dan Loloda yang jauh secara spasial mengalami efek “pinggiran” atau peripheral lag. Ini terlihat dalam lambatnya pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan, pendidikan, dan kesehatan di wilayah tersebut.

Pemekaran menjadi kabupaten baru memungkinkan terbentuknya pusat pertumbuhan sekunder yang dapat menarik investasi, tenaga kerja, dan layanan ke wilayah yang selama ini tertinggal. Secara spasial, ini menciptakan distribusi pusat-pusat aktivitas baru yang lebih merata di dalam satu pulau atau kawasan.

Keterisolasian Wilayah: Fakta Geospasial Galela dan Loloda memiliki karakteristik geografis yang unik. Galela merupakan dataran subur dengan danau vulkanik terbesar di Halmahera, sedangkan Loloda terdiri dari wilayah pesisir, pegunungan, dan gugusan pulau-pulau kecil di bagian barat laut pulau. Wilayah ini cukup luas dan terpencar, dengan jarak tempuh ke ibu kota kabupaten induk (Tobelo) bisa mencapai 2-4 jam perjalanan laut dan darat, tergantung kondisi.

Dalam studi perencanaan wilayah, daerah seperti ini dikategorikan sebagai wilayah berisiko marginalisasi apabila tidak diberi perhatian khusus dalam pengelolaan ruang dan anggaran pembangunan. Tanpa kelembagaan otonom yang kuat, daerah-daerah dengan hambatan spasial semacam ini akan terus tertinggal, meski memiliki potensi sumber daya yang besar.

Pembangunan Wilayah: Potensi Endogen dan Kemandirian Lokal, Teori pembangunan wilayah (regional development) menekankan pentingnya pengembangan wilayah berbasis potensi endogen (sumber daya lokal). Galela dan Loloda memiliki sumber daya laut, hasil perkebunan (pala, cengkih, kelapa), wisata alam (Danau Galela, Teluk Loloda), pertambangan serta kekayaan budaya yang khas.

Namun, potensi ini belum tergarap maksimal karena tidak tersentuh oleh kebijakan investasi dan perencanaan pembangunan tingkat kabupaten secara adil. Pemekaran wilayah akan membuka peluang untuk: Menyusun kebijakan pembangunan yang berbasis potensi lokal, Meningkatkan kapasitas fiskal melalui PAD dari sektor-sektor unggulan, Meningkatkan ketersediaan layanan publik dasar secara menyeluruh, Memberikan peluang kerja dan pemberdayaan masyarakat setempat.

Model perencanaan pembangunan yang lebih lokal (bottom-up) hanya dapat dilakukan secara optimal bila pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat—baik secara spasial, administratif, maupun sosial.

Ketimpangan Pelayanan dan Keadilan Spasial: Salah satu indikator urgensi pemekaran adalah ketimpangan pelayanan publik. Masyarakat di sebagian besar desa di Galela dan Loloda masih mengalami kesulitan akses terhadap layanan dasar seperti: Pendidikan, Fasilitas kesehatan tingkat Puskesmas dan rumah sakit, Layanan administrasi dan kependudukan, Infrastruktur dasar (jalan, air bersih dan sistem sanitasi layak).

Kondisi ini bukan hanya permasalahan teknis, tapi menyentuh prinsip keadilan spasial (spatial justice), yaitu pemerataan layanan dan hak pembangunan bagi semua warga negara tanpa memandang lokasi geografis. Dalam kerangka teori ini, DOB Galela Loloda adalah alat koreksi struktural untuk memperbaiki ketimpangan pelayanan dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan lokal.

Tata Ruang dan Fungsi Strategis Galela-Loloda: Dalam skala regional, Galela dan Loloda memiliki posisi strategis sebagai penghubung utara-barat Halmahera dan memiliki peluang dikembangkan sebagai: Pusat perikanan dan pelabuhan perintis, Kawasan agropolitan dan sentra hasil rempah, Kawasan wisata bahari dan budaya dan Titik logistik regional untuk jalur laut antara Halmahera – Sulawesi – Ternate.

Sayangnya, dalam struktur Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Utara saat ini, wilayah ini belum mendapat alokasi perencanaan ruang yang memadai namun hanya sebatas konsep perencanaan tata ruang yang menjadi administrasi dokumen, namun masih jauh dari implementasi. Pemekaran wilayah akan membuka peluang penyusunan RTRW baru yang lebih responsif dan berbasis potensi aktual wilayah.

Aspek Sosial dan Identitas Lokal : Galela dan Loloda tidak hanya memiliki nilai strategis ekonomi dan geografis, tapi juga sosial-budaya yang kuat. Pemekaran akan memperkuat identitas lokal melalui pembentukan kelembagaan sosial baru, partisipasi politik lokal, dan representasi adat serta agama dalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Model pemerintahan yang lebih dekat dan berbasis lokal juga memungkinkan penyelesaian konflik sosial, penguatan nilai-nilai kultural, dan pemberdayaan lembaga adat dalam pembangunan.

Dari Aspirasi Menuju Tindakan Nyata : Melalui lensa perencanaan spasial dan pembangunan wilayah, DOB Kabupaten Galela Loloda adalah kebutuhan yang rasional, struktural, dan mendesak. Pemekaran ini bukan sekadar ambisi elit lokal, tapi cerminan dari upaya menyusun ulang peta keadilan pembangunan Indonesia dari pinggiran.

Pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian PPN/Bappenas, perlu meninjau ulang moratorium pemekaran wilayah untuk kasus-kasus strategis seperti Galela

Loloda. Dengan data spasial, indikator wilayah tertinggal, serta kajian teknis yang solid, daerah ini layak mendapatkan status kabupaten mandiri.

Karena pembangunan sejati bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi tentang memastikan setiap warga di manapun mereka berada mendapatkan hak yang setara atas ruang, layanan, dan masa depan.*