banner 728x90

Fit and Proper Test Calon Dewan Pengawas KPK, Bamsoet Soroti Aturan Soal Penyadapan

Screenshot 2024 11 21 07 23 06 88 6012fa4d4ddec268fc5c7112cbb265e7
banner 120x600

JAKARTA|wartamerdeka.com – Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menyoroti aturan penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus kewajiban izin Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk penyadapan di KPK. Bamsoet meminta aturan penyadapan di KPK perlu diatur lebih jelas dan rigit, semisal dalam kode etik. Karena sebelum berlakunya UU No.19 tahun 2019 tentang KPK yang baru, ada juga hasil sadapan KPK yang tidak berkaitan langsung dengan perkara pokok yang ditangani KPK, tetapi kemudian bocor ke publik.

“Dalam rekomendasi Panitia Khusus Angket DPR RI tentang Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Angket KPK) tahun 2018, merekomendasikan hasil penyelidikan terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Termasuk larangan pelaksanaan penyadapan kepada seseorang yang tidak terkait perkara pokok. Misalnya, penyadapan yang menyangkut hubungan pribadi tersangka, bahkan terkait urusan suami-istri yang kemudian diperdengarkan di pengadilan. Lalu ditekankan juga harus ada batas waktu, hasil penyadapan yang tidak terkait perkara itu dihapuskan,” ujar Bamsoet dalam fit and proper test calon Dewan Pengawas KPK di Komisi III DPR RI Jakarta, Rabu (20/11/24).

Mantan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 bidang Hukum dan Keamanan ini menjelaskan, aturan penyadapan di KPK diatur dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK yang menyatakan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam rangka penyelidikan tindak pidana korupsi. Namun, tidak ada penjelasan yang rinci mengenai batasan dan kriteria apa yang dapat dikategorikan sebagai informasi yang relevan. Hal ini mengakibatkan penyadapan dilakukan secara luas, tanpa filter yang jelas, dan menghasilkan data yang tidak selalu relevan dengan perkara pokok yang sedang diselidiki.

“Adanya hasil sadapan yang tidak berkaitan langsung dengan perkara pokok, berpotensi disalah digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, jika hasil penyadapan menunjukkan kelemahan seseorang secara pribadi, individu tersebut berpotensi menjadi korban penyalahgunaan, baik dari dalam maupun luar institusi hukum. Situasi semacam ini bisa saja terjadi. Disinilah dibutuhkan peran penting pengawasan dari Dewas KPK,” kata Bamsoet.

Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menilai adanya kasus penyadapan KPK yang tidak sesuai perkara pokok menjadi indikator adanya kebutuhan mendesak untuk memperketat aturan dan mekanisme pengawasan terhadap teknik penyadapan. Pembatasan tegas mengenai konten dan konteks yang dapat disadap sangat penting agar data yang diperoleh dari penyadapan tidak dapat digunakan untuk kepentingan pribadi atau di luar tujuan penyelidikan.

“Di samping itu, terdapat aspek etika dan privasi yang harus dipertimbangkan. Negara harus memastikan bahwa hak-hak individu tetap dilindungi dalam proses penegakan hukum. Adanya laporan tentang penyalahgunaan hasil penyadapan untuk tujuan tertentu atau intimidasi dapat menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum, termasuk KPK,” pungkas Bamsoet. (*)

Wartawan|Budiarto                                  Editor|Manwen.Wmc