WMC– Perempuan, sebagai bagian dari umat manusia, memiliki peran yang tak terpisahkan dalam perjalanan dan pembentukan kebudayaan. Sejak awal peradaban, perempuan bukan hanya objek dalam sejarah, tetapi juga subjek aktif yang menciptakan, merawat, dan mewariskan nilai-nilai budaya. Perempuan adalah penjaga tradisi, pendidik pertama dalam keluarga, dan agen perubahan sosial dalam masyarakat. Dalam kehidupan tradisional, perempuan sering kali memegang peran sentral dalam mempertahankan identitas budaya. Mereka terlibat dalam praktik-praktik adat, bahasa daerah, cerita rakyat, hingga ritual keagamaan.
Tulisan sederhana ini akan mengulas sedikit peran sentral perempuan orang Galela dalam konteks sosial budaya dan sejarah di Maluku Utara. Berbeda dengan pandangan patriarkal umum, perempuan Galela, yang diidentifikasi sebagai o gikiri (pemegang unsur jiwa atau nyawa), menempati posisi yang signifikan dalam sistem kepercayaan dan kehidupan masyarakat. Berbanding terbalik dengan laki-laki yang dimaknai sebagai o gurumini (pemegang unsur nama dan harga diri), perempuan Galela menjadi simbol kesuburan dan pusat kehidupan, peran ini didasarkan pada fungsi biologis mereka sebagai wadah kehidupan (rahim) dan pemberi nutrisi (air susu). Kedua unsur, o gikiri dan o gurumini, bersama unsur tubuh (o rohe), membentuk kesatuan eksistensi manusia (Visser 1994:117-118).
Aktivitas dan Peran Ekonomi
Perempuan Galela bertanggung jawab atas pengelolaan rumah tangga, pengolahan makanan, dan pertanian subsisten, meliputi penanaman pisang, kentang, jagung, padi, dan aneka sayuran. Sementara laki-laki berfokus pada aktivitas berburu (o dhiha), pengambilan sagu (o peda), dan penangkapan ikan (o hau). Hasil pertanian dan perburuan diolah perempuan dengan teknik pengolahan sederhana seperti memanggang, merebus, dan menggoreng menggunakan minyak kelapa. Nasi dan sagu menjadi makanan pokok, dikonsumsi dua kali sehari. Sistem pertukaran barang (tagi tagali moroi) masih berlangsung, terutama di kalangan perempuan, sebagai mekanisme ekonomi dan interaksi sosial.
Adat Istiadat, Busana, dan Perhiasan
Busana perempuan Galela terdiri atas kebaya putih dan kain berwarna-warni (merah, oranye, kuning, biru muda, biru tua, ungu). Laki-laki mengenakan kain hitam dan merah, dengan penutup kepala berwarna-warni. Bahan pakaian diperoleh melalui pertukaran dengan pedagang dari Arab, Cina, dan Jawa, di bawah kendali Kesultanan Ternate. Masyarakat Alifuru Galela di pedalaman, yang sebagian besar masih bertelanjang dada, menggunakan sabeba dari kulit pohon. Perempuan Galela memperindah diri dengan lukisan tubuh menggunakan pewarna alami, konde dan sisir bermotif kura-kura dan bunga, serta hiasan bunga di telinga. Rambut panjang mereka dirawat menggunakan santan kelapa (o joho). Perhiasan berupa kalung mutiara dan perak, gelang, cincin, gelang kaki perak, dan mahkota perak dikenakan pada acara-acara khusus, seperti panen atau upacara adat. Anting emas juga digunakan pada kesempatan tertentu.
Perkawinan, Kehormatan, dan Hukum Adat
Perempuan yang telah menikah dihormati dan dilindungi suami. Perlakuan kasar atau verbal dapat menyebabkan perempuan kembali ke rumah orang tuanya, dengan suami wajib membayar denda (o bobangi) hingga istrinya merasa pulih. Perempuan Galela dilindungi dari eksploitasi seksual; perzinahan dianggap sebagai pelanggaran berat dan dapat berujung pada hukuman mati (Baarda 1893:38-45). Pernikahan antar suku, terutama dengan suku Tobaru dan Tobelo, dapat menimbulkan konflik jika mahar tidak lengkap, yang dianggap sebagai penghinaan terhadap adat istiadat.
Ketahanan Fisik, Keberanian, dan Tradisi
Perempuan Galela dikenal memiliki fisik yang kuat, mampu memikul beban berat dari kebun ke pemukiman. Keberanian mereka terlihat dalam membela pemukiman dari serangan dan mendampingi suami dalam pelayaran. Tradisi unik yang menyertai kelahiran anak, dengan seruan “salawako” (perempuan) atau “ta’ito” (laki-laki), atau “saloi” dan “palaudi,” mencerminkan kearifan lokal dan kedekatan dengan alam.
Simbolisme dan Upacara Adat
Bentuk saloi (keranjang anyaman), dengan bagian bawah yang sempit melambangkan kehormatan perempuan dan bagian atas yang terbuka melambangkan keterbukaan hati, menjadi simbol perempuan Galela. Dalam pembangunan rumah, lebar pintu harus sesuai dengan bentangan tangan perempuan. Sehelai rambut istri diikatkan pada perahu suami sebagai jimat keselamatan (Eerde 1896:45). Upacara “O Dohu Po Tiodo”, mencuci kaki pengantin perempuan oleh gadis perawan, melambangkan penyucian dan harapan awal yang bersih dalam kehidupan rumah tangga, (WorldVision 2005:67).
Kesimpulan
Perempuan Galela memainkan peran yang jauh lebih kompleks dan signifikan daripada sekadar peran domestik. Mereka merupakan pilar utama dalam struktur sosial budaya Galela, yang keberanian, ketahanan, dan kesetiaannya telah membentuk identitas dan sejarah masyarakat tersebut. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menggali lebih dalam aspek-aspek kehidupan perempuan Galela dan kontribusinya terhadap sejarah Maluku Utara.
Sumber Referensi: (Visser 1994, Baarda 1893, Eerde 1896, WorldVision 2005) perlu dilengkapi dengan informasi bibliografi lengkap untuk meningkatkan validitas akademis tulisan ini.
Narasi : Muhammad Diadi
Editor : Harun Gafur
Edit foro: AI (Ilustrasi Perempuan Galela)
Galela, 27 Mei 2025