banner 728x90

Ponpes Wali Barokah dan LDII Kolaborasi Pelatihan Cegah Kekerasan di Sekolah

Img 20250525 Wa0167
banner 120x600

WMC|| Kediri (25/5). Dewan Pimpinan Pusat Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPP LDII) menyelenggarakan Pelatihan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) sebagai upaya konkret mewujudkan lingkungan yang aman, nyaman, dan menyenangkan pada satuan pendidikan seperti sekolah dan pesantren.

Kegiatan ini berlangsung di Pondok Pesantren Wali Barokah, Kediri, pada Sabtu (24/5), dan diikuti secara hibrid oleh para pendidik, pengelola pesantren, serta perwakilan lembaga pendidikan di bawah naungan LDII. Sebanyak 290 lembaga pendidikan dari jenjang TK hingga SMA yang berada di bawah naungan LDII di seluruh Indonesia mengikuti pelatihan secara daring.

Ketua DPP LDII Rubiyo dalam sambutannya, menegaskan pentingnya menjadikan sekolah dan pesantren sebagai ruang yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi perkembangan holistik siswa dan santri. “LDII berupaya membangun sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan melalui pengembangan dan penerapan 29 karakter luhur,” ujar Rubiyo.

Ia menambahkan bahwa pelatihan ini juga merupakan bentuk dukungan LDII terhadap kebijakan pemerintah, khususnya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan. “Regulasi ini mengamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan, dari jenjang PAUD hingga pendidikan menengah, wajib membentuk TPPK. Program perintisan sekolah aman, nyaman, dan menyenangkan (SANM) kami selaraskan sepenuhnya dengan kebijakan ini, demi menciptakan lingkungan belajar yang bebas dari kekerasan, baik fisik maupun psikologis,” jelas peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini.

Rubiyo juga menekankan bahwa penguatan pendidikan karakter merupakan bagian penting dari upaya pencegahan kekerasan. Selain itu, keterlibatan semua pihak, diantaranya guru, siswa, orang tua, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan ramah anak.

Sementara Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami mengatakan bahwa terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dalam dunia pendidikan. Kemendikbudristek melalui Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah tengah mendorong terwujudnya pendidikan bermutu untuk semua, selaras dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Di sisi lain, Rusprita mengungkapkan keprihatinannya terhadap masih tingginya angka kekerasan pada satuan pendidikan. Berdasarkan data Asesmen Nasional tahun 2022, satu dari tiga anak di Indonesia masih berpotensi mengalami kekerasan seksual dan perundungan, serta satu dari empat anak berisiko mendapat hukuman fisik.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) yang dihimpun melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat lebih dari 2.000 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi sepanjang tahun 2024.

“Kekerasan seperti ini meninggalkan dampak psikologis jangka panjang dan mengganggu proses belajar murid. Karena itu, Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 menekankan pembentukan TPPK di setiap satuan pendidikan,” paparnya.

Regulasi tersebut juga mendorong pelibatan aktif pemangku kepentingan daerah dan warga satuan pendidikan melalui pembentukan Satuan Tugas (Satgas) serta tim TPPK, guna memastikan adanya tindakan pencegahan dan respons cepat ketika terjadi kekerasan.
“Langkah LDII sangat strategis dalam mendukung upaya ini. Pelatihan TPPK menjadi bagian dari komitmen bersama mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan,” tambahnya.

Dalam pemaparannya, Rusprita juga menjelaskan tiga aspek utama yang membentuk lingkungan pendidikan aman, nyaman, dan menyenangkan. Pertama, Aspek Aman yang mencakup perlindungan dari kekerasan, kesiapsiagaan terhadap bencana, keamanan digital, serta lingkungan yang bersih dan sehat.

Kedua, Aspek Nyaman yang menekankan terciptanya suasana belajar yang mendukung tumbuh kembang kognitif, afektif, psikomotorik, dan sosial peserta didik. “Ketika murid merasa nyaman, motivasi belajar meningkat, partisipasi aktif tumbuh, dan potensi diri berkembang optimal,” jelasnya.

Ketiga, Aspek Menyenangkan yang menciptakan ruang belajar menggembirakan, bisa memberikan kesempatan bagi siswa untuk bermain, berkarya, serta mengembangkan bakat dan minatnya. Lingkungan seperti itu, tambah Ruspita, bukan hanya memperkuat hasil belajar, tetapi juga membentuk karakter positif dan jiwa yang sehat. “Kami mengapresiasi LDII yang telah menginisiasi pelatihan TPPK. Untuk mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan, dibutuhkan peran aktif dari semua pihak,” ujarnya.

Sementara itu, kekerasan yang terjadi pada satuan pendidikan membutuhkan penanganan terkait dampak psikologis terhadap peserta didik. Seperti disampaikan oleh Dokter Spesialis Kejiwaan dari RSUD Bhakti Dharma Husada Surabaya, Riko Lazuardi. Ia menekankan pentingnya kesigapan satuan pendidikan dalam menangani dampak psikologis kekerasan, termasuk kekerasan seksual dan perundungan.

Riko mengungkapkan bahwa satu dari tiga peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, sementara satu dari empat berpotensi mendapatkan hukuman fisik. Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan bisa berupa sentuhan tubuh hingga pemaksaan melakukan aktivitas seksual.

Ia juga menjelaskan bahwa perundungan seringkali terjadi karena relasi kuasa dan melibatkan pelaku, korban, dan pengamat. Anak-anak yang menjadi korban mungkin belum memahami bahwa mereka mengalami kekerasan, namun menyadari bahwa perlakuan tersebut tidak menyenangkan, yang kemudian bisa muncul dalam bentuk mimpi buruk, gangguan kepercayaan pada orang lain, bahkan potensi menjadi pelaku kekerasan di masa depan sebagai bentuk pelampiasan. “Pengamat juga perlu diperhatikan karena mereka bisa merasa terancam menjadi korban berikutnya, mengalami kecemasan, gangguan konsentrasi, dan berpikir tidak logis,” ujarnya.

Riko menekankan pentingnya membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penanganan kasus kekerasan. Ia juga mengingatkan tanda bahaya yang perlu diwaspadai, seperti melukai diri sendiri, percobaan bunuh diri, gelisah, penelantaran diri, dan membahayakan orang lain. “Seringkali mereka tahu bahwa bunuh diri itu dosa, tapi mereka mengungkapkan keinginan itu kepada kita sebagai bentuk permintaan tolong,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa penanganan kegawatan psikologis harus dilakukan melalui intervensi krisis, dengan prioritas pada pengamanan korban, mendengarkan secara empatik, dan memberikan normalisasi. “Kita harus memastikan korban merasa tidak bersalah atas apa yang dialaminya,” kata Riko.

Sebagai bentuk penanganan awal, tambah Riko satuan pendidikan diminta melakukan penilaian awal, mengumpulkan data kasus, serta memperkirakan dampak dan tingkat kekerasan. “Saat ada laporan, tanggapi dengan serius dan penuh empati, serta syukuri keberanian korban untuk menceritakan,” katanya.

Ia juga menyebutkan bahwa generasi Z lebih peduli terhadap kesehatan mental, sehingga satuan pendidikan tidak perlu ragu untuk merujuk siswa ke tenaga profesional. Untuk guru dan institusi pendidikan, Riko menekankan pentingnya membangun kepercayaan agar siswa merasa aman dalam menyampaikan informasi. “Institusi pendidikan harus transparan dalam menangani kasus kekerasan. Jangan ditutupi, aturan harus ditegakkan dan pelanggaran harus ditindak,” tegasnya.

Hadir pula dalam pelatihan ini Ketua Pondok Pesantren Wali Barokah Kediri KH Sunarto, Kepala UPT Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan (TIKP) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur Mustakim, Ketua Departemen Pengabdian Masyarakat DPP LDII H.Muslim Tadjuddin Chalid dan Ketua DPW LDII Jawa Timur H.Amrozi Konawi.
(gat)