Oleh: Baharudin Jabir, Harun Gafur
Adat dan budaya adalah dua konsep yang sangat berkaitan di mana adat merujuk pada aturan dan kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat, sedangkan budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, nilai, dan hasil karya manusia yang dimiliki bersama secara turun-temurun. Adat istiadat sering kali merupakan bagian integral dari kebudayaan suatu kelompok masyarakat, menjadi pedoman perilaku dan norma sosial yang diwariskan untuk menjaga keutuhan dan identitas komunitas tersebut. Meletakkan Adat, dalam aturan & adab dalam sejarah tutur tetua-tetua kampung (Kipai dan Wailegi) Ta Ipa atau yang lazimnya lebih dikenal dengan sebutan Coka Iba, adalah ritual dan tradisi yang dilaksanakan bertepatan dengan tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi.
Sekilas awal mula ritual adat Ta Ipa (Bahasa patani yang berarti bukan Dia) dibawa oleh salah satu ulama yang datang ke Negeri Fagogoru, untuk menyiarkan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Jika para Wali Songo menggunakan wayang dalam mensyiarkan ajaran Islam, maka Ulama yang saat itu datang ke Negeri Fagogoru (Weda, Patani, Maba), menggunakan Ta Ipa Sebagai media untuk menjelaskan kepada masyarakat, bahwa berhala-berhala adalah bukan Tuhan (bukan Dia) yang maha kuasa, Melainkan Allah SWT adalah Tuhan seru sekalian alam. Dalam perkembangannya, syiar keagamaan ini kemudian dilanjutkan oleh ketiga putranya (Datuk dari Weda, Patani, dan Maba) yakni Borfa (Rajonan Satrio) diwilayah Obon (Maba), Bornabi (Rajonan Ka Surau) didaerah Poton (Patani), Bortango (Su Da Rajo/Su Ta Rajo) diwilayah Were (Weda). Bermula ketika ketiga anak tersebut berkumpul kembali setelah setahun menetap dan menyiarkan syiar Islam diwilayah masing-masing, pada saat berjumpa ulang dibulan Rabiul Awal, sesuai dengan perjanjian yang disepakati oleh ketiganya, bahwa dibulan kelahiran Nabi, mereka bertiga harus bertemu kembali untuk bersilaturahim, pula digunakan untuk melaporkan dan mengevaluasi perkembangan syiar keislaman mereka dimasing-masing wilayahnya, juga yang lebih utama, adalah untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, secara bersama-sama.
Ketika tiba saatnya dibulan Rabiul Awal, ketiganya lalu menunaikan sumpah janji mereka. Perayaan Maulid pada saat itu (masih menurut lisan Tetua Kampung), biasanya dimulai dari tanggal 1 bulan dilangit pada bulan Rabiul Awal hingga berpuncak pada tanggal 12 Rabiul Awal. Dari tanggal 1, dibacakan dzikir maupun saut, kabata, denge dan kleley yang mengisahkan riwayat Sang Nabi, juga disertai dengan tabuhan rebana sebagai alat untuk mengiringi dzikir, saut, kabata, denge dan kleley dalam mengagungkan hari kelahiran Nabi hingga berpuncak pada malam 12 Rabiul awal. Sementara untum tradisi Ta Ipa, dilaksanakan tepat pada malam 12 Rabiul Awal. Ta Ipa sendiri, oleh masyarakat Weda disebut sebagai Cogo Ipa (Bukan Dia), sedangkan Maba menyebutkannya dengan sebutan Ipa Ce /Mef (Bukan Dia).
Hal tersebut didasari atas sejarah awalnya. Yakni ketika tiba pada malam puncak perayaan Maulid Nabi, ketiganya memerintahkan kepada para rombongan mereka saat itu untuk menggunakan dan memeragakan topeng tersebut yang diiringi dengan tabuhan rebana serta lantunan dzikir, pada saat tiba pelepasan, orang yang kemudian menggunakan topeng-topeng tersebut tak lagi dapat dikenali lagi, maka munculnya tanda tanya pada ketiganya, dengan saling menyahutkan ucapan, bukan dia dalam dialeg dan bahasa mereka masing-masing dari ketiga negeri Weda, Patani, dan Maba; Ta Ipa, Cogo Ipa, dan Ipa Ce, Ketika itu wilayah Fagogoru (Weda, Patani, dan Maba) diminta untuk bersama-sama Kesultanan Tidore dalam menumpas misi zionisme, dimasa Sultan Jamaluddin, disaat itu juga disatukan penamaan tersebut menjadi nama Coka Iba, yang hingga saat ini lebih dikenal luas dikalangan masyarakat Maluku Utara.
Oleh masyarakat Poton (Patani) Ta Ipa sendiri memiliki 4 Jenis dengan jumlah yang telah ditentukan, yakni : Satu; Ta Ipa Yay (Coka Iba Kayu) sebanyak 7 orang, Kedua; Ta Ipa Gof (Coka Iba Bambu) 4 pasangan, Ketiga; Ta Ipa Iripala (Coka Iba Pelapah pohon Sagu) 44 pasangan, Keempat; Ta Ipa Nok (Coka Iba Tanah) 2 orang, yang Jika ditotalkan, berjumlah 99 yang disesuaikan dengan jumlah Asmaul Husna.
Sementra untuk 4 jenis tersebut membawahi 4 Anasir dari proses penciptaan manusia. Yakni Ta Ipa Yay pada Anasir Api, Ta Ipa Gof Unsur Angin, Ta Ipa Iripala membawahi Unsur Air, dan Ta Ipa Nok membawahi Unsur Tanah. Empat jenis Ta Ipa tersebut, pun dalam cara berpakaiannya, juga memiliki ciri khas tersendiri, sesuai dengan pakaian adat dari negeri Poton. Sementara itu untuk bagian atas kepala Ta Ipa sendiri, hanya untuk Ta Ipa Iripala, dengan menampilkan berbagai bentuk isi bumi. Ta Ipa Poton, pun dalam mengawali atraksinya, biasanya ketika lantunan dzikir yang dilangsungkan oleh masyarakat di Mesjid telah dimulai (usai ba’da sholat Isya), maka disaat itu pula jenis Ta Ipa dengan berpaikan warna putih-putih (Lalo-lalo) kemudian dimunculkan untuk berantraksi dari Mesjid Desa Wailegi hingga ke Mesjid Desa Kipai, sebagai penanda bahwa cahaya atau sosok Rahmatan Lil Aalamin tak lama lagi akan segera ada.
Setelah pertengahan dzikir yang disebut oleh masyarakat Poton sebagai Waktu Asrakal atau waktu beristirahat (dikisaran pukul 02.00 WIT) untuk sekedar menyantap sajian ala kadar yg telah disediakan oleh mama-mama Poton (Ibu-Ibu masyarakat patani), lalu dilanjutkan kembali dzikir dan bacaan Riwayat Nabi, maka disaat itu pula, 4 jenis Ta Ipa, mulai menampakkan diri mereka hingga tiba dimana Tetua Adat / Wlon (Kepala Pemerintahan dimasa itu) mengatur, lalu memilih 1 diantara Jenis Ta Ipa Yay (Coka Iba Yay) sebagai kepala dari 4 jenis Coka Iba Tersebut untuk dilepas selama 3 Hari (Apabila Fanten tidak dilaksanakan) untuk menegur masyarakat, disiang hari, apabila mereka tidak melaksanakan kewajiban agama. Begitupun dengan Ta Ipa Iripala (Coka Iba Iripala) pun ditunjuk satu pasangan yang dianggap lengkap dalam cara berpakaian (kimon putih, Juba, salaka, Buka Re Sirap, Piypoy), serta memiliki jenis atas kepala yang baik, juga dipilih untuk menempati urutan pertama pada barisan 44 pasangan sebagai kepala dari jenis Ta Ipa tersebut.
Ketika semuanya telah diatur secara rapi dan keterwakilan dari semua jenis Ta Ipa (Coka Iba) yang menjadi kepala dari empat Ta Ipa, Tetua Adat lalu mengambil sebilah rotan yang telah di sediakan di atas meja pada saat bacaan dzikir yang dimulai dari ba’da Isya hingga selesai Subuh, untuk selanjutnya digunakan memukul Ta Ipa Yay yang telah dipilih sebanyak 3 kali, sembari membacakan Shalawat atas Nabi, yang disertai dengan doa agar negeri terhindar dari segala marah bahaya. Yakni Setan, Soe, Salale Na Langatli, fpolonmewna Langatli, setan Soe Salale Na lolosli, fpolonmewna lolosli, setan Soe Salale Na Olot Li, fpolonmewna olotni, setan Soe Salale Na ngolo Li, fpolonmewna ngololi, setan Soe Salale Na gyatalli, fpolonmewna gyatalli. Fimnyangasna Masyarik re Magharib. Setelah dilepas, Ta Ipa kemudian berantraksi berkeliling dari Desa Wailegi (Mesjid Desa Wailegi) hingga ke ujung Desa Kipai (Jere Pete/Makam Jere Ramdan) sebanyak 3 Kali Putaran, barulah dapat membubarkan diri ke masing-masing rumah.
Sebagai syarat daan aturan tambahan dalam adat Ta Ipa (Coka Iba) tidak boleh melepas topengnya, selama berada di luar rumah, tidak memukul orang yang sementara telah berada di dalam rumah, memakai pakaian seragam/dinas, yang dewasa tak boleh memikul yang kecil, begitupun yang kecil tak boleh memukul yang dewasa, wanita hamil, maupun mereka yang sedang berada diatas kendaraan dan yang terakhir adalah orang yang sedang dalam perjalanan beribadah. Sementara untuk batasan waktunya dimulai sejak matahari terbit, hingga terbenamnya Matahari. ***