Tokoh Masyarakat Gundih Haji ORE Gelar Tradisi Sandur Madura
WMC|| Surabaya, Haji ORE Tokoh Masyarakat atau yang disebut sesepuh di kalangan suku Madura menggelar sandur di rumah kediaman, Jalan Gundih Lapangan, Kelurahan Gundih, Kecamatan Bubutan, Kota Surabaya, Jum’at (10/01)
Haji Ore yang merupakan Tuan ruma mengatakan selain sebagai ajang silaturahmi, remoh sandur tersebut digelar untuk melestarikan salah satu warisan budaya masyarakat khas Madura.
“Ini merupakan salah satu tradisi yang harus kita rawat dan kita jaga. Melalui tradisi ini kita bisa terus mempererat tali persaudaraan,” kata Ore, Jum’at (10/01)
Menurut Ore Sandur tidak hanya sebatas pagelaran kesenian namun dibalik itu ada makna yang tersembunyi yaitu sebagai ajang silaturahmi antar masyarakat Madura khususnya komunitas blater.
“Karena dalam Sandur terciptanya kehangatan kekeluargaan, saling salaman satu sama lain, tegur sapa, dan juga sama-sama duduk bersila satu sama lainnya.” Tuturnya.
Lanjut Ore sapaan akrabnya, Pagelaran Sandur Madura ini tidak lain untuk melastarikan budaya yang ada dimadura dan sebagai wadah bagi Tokoh blater Se-Madura
“Hal itu untuk mempererat tali silaturahmi serta antar sesama suku Madura yang tersebar di empat kabupaten (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep), serta punya niat hajat menyelamati keluarga kami,” Ujarnya Ore
Masih kata Ore, dalam kegiatan itu, Tuan Rumah yang mempunyai hajatan akan menyediakan tempat seperti lapangan, tenda, dua sosok lenggek atau penari pria yang berdandan seperti wanita dengan riasan dan sanggul dengan gerakan anggun mereka mengalunkan tembang tradisional Madura. Di depan mereka,
“Peserta-peserta yang akan maju satu per satu untuk menyerahkan sejumlah uang ke wadah yang telah disiapkan. Setiap transaksi dicatat dengan cermat oleh petugas dalam buku kas, menandai kontribusi yang berharga untuk kelangsungan acara.” Tambah Ore.
Sandur sendiri terbagi menjadi tiga babak utama. Pertama, Dhing-endingan, di mana gendang-gending Madura diputar tanpa syair, menunggu kedatangan seluruh peserta setelah salat Isya.
Kemudian, Ndhung-endhung, babak di mana peserta disambut dengan tarian dan nyanyian menjelang tengah malam. Dan terakhir,
“Andongan, babak di mana para peserta secara bergiliran maju untuk menyerahkan uang sambil menari bersama lenggek, menciptakan momen kebersamaan yang tak terlupakan.” Ungkapnya
Sambung Ore, Peserta Sandur ini semua terdiri dari seorang lelaki yang berpakaian khas jawara Madura, mengenakan jaket kulit, sarung, dan peci hitam serta duduk bersila di bawah tenda. Sambil menunggu giliran untuk maju,
“para peserta lainnya menikmati irama lagu-lagu Madura sambil memainkan kartu, menambah semarak suasana yang sudah begitu meriah. Tuan rumah acara, yang akrab disapa Kak Tuan, akan mendapatkan bagian dari uang arisan malam itu. Kehadiran dan kharismanya memainkan peran penting dalam menentukan jumlah peserta yang hadir.” Imbuh Ore
Tradisi ini bukanlah sekadar acara rutin, tetapi merupakan bagian hidup dari komunitas setempat. Bahkan di perantauan, perkumpulan masyarakat asli Madura, tetap menjaga dan melaksanakan tradisi ini dengan penuh kehangatan dan semangat.
“Setiap pelaksanaannya menjadi sebuah perayaan yang meriah, bahkan sampai menutup jalan kampung, mengukuhkan Sandur sebagai warisan budaya yang hidup dan berkelanjutan.” Tutupnya. (gat)