banner 728x90

Riau Tak Dapat Apa-Apa, Lahan Sitaan Satgas PKH Justru Dinikmati Agrinas dan Jakarta

Img 20251224 Wa0342
banner 120x600

RIAU, Wartamerdeka.com – Harapan masyarakat Riau untuk merasakan keadilan atas penguasaan kembali lahan negara oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) kini nyaris pupus. Alih-alih menjadi angin segar bagi daerah yang selama puluhan tahun menjadi korban eksploitasi hutan, lahan-lahan sitaan tersebut justru dinilai “diborong” kepentingan pusat dan dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Agrinas. Riau kembali hanya jadi penonton.

Kebijakan yang semestinya menjadi momentum koreksi sejarah perampasan ruang hidup rakyat, malah memunculkan ironi baru. Lahan yang sebelumnya dikuasai korporasi besar, kini berpindah tangan ke entitas yang dikendalikan Jakarta, tanpa kejelasan manfaat bagi masyarakat lokal, pemerintah daerah, maupun komunitas adat.

Padahal, Riau selama ini membayar harga mahal dari eksploitasi kawasan hutan: kerusakan lingkungan masif, konflik agraria berkepanjangan, kebakaran hutan, banjir tahunan, hingga kemiskinan struktural. Namun ketika negara hadir menertibkan, hasilnya justru tidak kembali ke daerah.

“Riau ini sudah lama jadi korban. Kami kebagian asap, konflik, dan banjir. Tapi saat lahannya ditertibkan, yang menikmati justru Jakarta,” tegas Muhamad Sanusi, Pemuda Riau, dengan nada kecewa.

Sanusi menilai pengelolaan lahan sitaan oleh Agrinas sarat persoalan. Selain minim transparansi, skema pengelolaannya juga tidak melibatkan pemerintah daerah secara bermakna, apalagi masyarakat adat dan petani lokal yang selama ini terdampak langsung.

Alih-alih diarahkan untuk reforma agraria, perhutanan sosial, atau penguatan pendapatan daerah, lahan-lahan tersebut justru dijadikan aset bisnis baru. Pola ini dinilai hanya mengganti pemain, bukan mengubah sistem ketidakadilan.

Kritik tajam juga diarahkan kepada Pemerintah Provinsi Riau dan DPRD yang dinilai lemah dan pasif. Hingga kini belum terlihat sikap politik yang tegas untuk memperjuangkan hak daerah atas lahan yang berada di wilayahnya sendiri.

“Ini tanah di Riau, dampaknya ditanggung rakyat Riau. Tapi keputusan dan keuntungannya dibawa ke pusat. Kalau pemda diam saja, ini bentuk kegagalan memperjuangkan amanat konstitusi,” ujar seorang aktivis lingkungan.

Para pengamat menilai, jika pola ini terus dibiarkan, Satgas PKH hanya akan menjadi alat penertiban administratif tanpa keadilan ekologis dan sosial. Sentralisasi penguasaan lahan dengan wajah baru berpotensi mengulang kesalahan lama yang selama ini dikritik.

“Kalau Riau tidak dilibatkan dan tidak mendapatkan apa-apa, maka ini bukan penertiban untuk rakyat, melainkan sekadar pengalihan penguasaan dari swasta ke negara pusat,” tegas seorang pengamat kebijakan kehutanan.

Kini masyarakat Riau menuntut keterbukaan, keberpihakan, dan keberanian politik. Riau bukan tanah kosong tanpa tuan. Jika lahan sudah disita negara, maka rakyat Riau harus menjadi pihak pertama yang merasakan manfaatnya, bukan sekadar menjadi saksi bisu dari jauh, sekali lagi dikorbankan atas nama kebijakan nasional.

 

Editor: AN