banner 728x90

Rumah Adat Hibua Lamo Perekat Etnisitas, Mendorong Pemajuan Pariwisata Budaya di Halmahera Utara

banner 120x600

Oleh: SUNAIDIN ODE MULAE

Dosen Peneliti Prodi Usaha Perjalanan Wisata, Universitas Khairun

Dosen tidak tetap Universitas Nahdlatul Ulama Maluku Utara

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengetahuan unsur kebudayaan bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian terdapat dalam ke empat wujud kebudayaan: kebudayaan fisik, sistem sosial, sistem budaya, dan sistem nilai. Sifat kebudayaan fisik adalah yang paling konkret di antara ke empat wujud kebudayaan. Pada kenyataan kehidupan bermasyarakat, wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan lain. Melihat pentingnya untuk pemajuan kebudayaan itu maka perlu ada penelitian untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal seperti sejarah lokal, bahasa dan rumah adat  yang ada di masyarakat. Sejarah dan bahasa merupakan bagian penting dari unsur kebudayaan yang sangat vital untuk mengetahui kebudayaan fisik suatu masyarakat. Kebudayaan fisik rumah adat Hibua lamo merupakan bagian terpenting dari identitas banyak etnisitas atau suku-suku di pulau Halmahera bagian Utara. Hal ini sangat penting untuk digali nilai-nilai, peran dan fungsi rumah adat Hibu lamo itu karena menyimpan potensi kebudayaan fisik lokal yang sangat penting untuk integrasi menjadi perekat budaya dan pemajuan pariwisata budaya.

Sebagai identitas bangsa Indonesia, rumah adat Hibua lamo menjadi bagian penting untuk perekat suku-suku di pulau Halmahera Utara. Suku-suku asli yang ada di Halmahera Utara terdiri dari suku Galela, Tobelo, Loloda, Kao, Pagu, Modole, dan Boeng, dan terdapat pula suku-suku lainnya antara lain suku Bugis-Makassar, Jawa-Madura, Buton-Wakatobi, Makean, Ambon, Sangir dan lain-lain. Rumah adat Hibua lamo di Tobelo merupakan rumah perekat antarsuku-suku yang ada di Halmahera. Rumah adat Hibua Lamo berperan penting menjadi tempat perekat dan pemersatu antaretnis pada saat konflik sosial pada tahun 1999-2000 yang mengakibatkan cerai berai suku-suku di Halmahera pada umumnya.

Rumah adat Hibua lamo menjadi tempat penting untuk membahas perdamaian dengan mengedepankan budaya, adat istiadat, rumah adat dan sejarah. Keberadaan rumah adat Hibua lamo saat ini mengalami perubahan nilai dan fungsi yang saat ini banyak dijadikan sebagai tempat panggung hiburan modern seperti panggung perlombaan, senam kebugaran modern, dan parahnya pada malam hari menjadi tempat mesum muda mudi. Pengalihan fungsi ini menjadi ciri lunturnya karena nilai-nilai budaya sudah mengalami pergeseran karena tidak ada pengetahuan tentang adat, bahasa, sejarah dan kebudayaan bagi pemuda-pemudi bahkan masyarakat saat ini. Menjadi urgensi penelitian ini untuk dilakukan sehingga mendapatkan kebaruan (novelty) cara atau strategi agar pelestarian kebudayaan rumah adat Hibua Lamo di Halmahera Utara dapat mendorong pemajuan kebudayaan dan Pariwisata Budaya.

Permasalahan

Penelitian ini mengangkat permasalahan secara umum pada konteks apa dan bagaimana sistem nilai budaya rumah adat Hibua lamo, dan bagaimana pelestariannya untuk mendorong sektor pariwisata budaya di kabupaten Halmahera Utara. Berdasarkan permasalahan secara umum itu kemudian melahirkan sub-pokok rumusan masalah penelitian untuk mencari kebenaran, apa saja sistem nilai budaya rumah adat Hibua lamo?, dan bagaimana strategi pelestarian nilai-nilai budaya Hibua lamo dalam mendorong pariwisata budaya di Halmahera Utara.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggali: Sistem nilai budaya rumah adat Hibua lamo pada masyarakat Halmahera Utara, dan diharapkan mampu memberikan kontribusi penting untuk pemajuan kebudayaan di dalam  menunjang kemajuan sektor pariwisata budaya di kabupaten Halmahera Utara.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat secara teoritis dan praktis. Manfaat teoritis penelitian menekankan penggalian terhadap rumah adat Hibua lamo dalam budaya masyarakat di Halmahera Utara agar  menjadi referensi ilmiah bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat. Pemajuan kebudayaan rumah adat Hibua lamo menjadi perekat yang damai untuk semua etnis.  Manfaat Praktis penelitian untuk mendukung Pemerintah Daerah agar rumah adat Hibua lamo dapat dipertahankan serta dikembangkan untuk menjadi salah satu warisan budaya yang dapat menjadi tempat perekat dan pemersatu antaretnis, serta upaya menjadi daya dorong kemajuan pariwisata budaya di Kabupaten Halmahera Utara.

 KAJIAN PUSTAKA

Penelitian tentang bahasa-bahasa di pulau Halmahera telah dilakukan beberapa peneliti asing, diantaranya Platen Kamp, Leontine Visser dan lain-lain. Visser seorang antropolog yang melakukan penelitian mengenai suku Sahu tentang budaya makan adat, mengkaji tentang kepemimpinan pada masyarakat yang dibentuk sesuai sistem pemerintah Republik Indonesia dan kepemimpinan adat yang berlaku di suku Sahu. Masyarakat Sahu menurut Visser dalam Mansur, dkk, (2018) bahwa merupakan suku bangsa yang kaya akan rumah budaya dan menjadi masyarakat yang hidup dalam pengaruh Islam dan Kristen, namun dapat menjalin kerukunan. Kerukunan tersebut disebabkan oleh faktor persaudaraan dimana walaupun mereka berbeda secara agama namun masih ada ikatan kekerabatan. Pengaruh Islam dan Kristen ini sangat berpengaruh dalam kehidupan masing-masing seperti dalam ritual adat. Rumah adat budaya pada masyarakat ini sampai pada tahun 1960-an masih terjaga dan dilakukan dalam berbagai kesempatan pada masyarakat yaitu pesta adat. Di Sahu selain penduduk asli juga terdapat beberapa suku bangsa lain: Suku Tobaru, Galela, dan lain-lain tetapi mereka lebur dalam budaya setempat. Visser juga melakukan penelitian tentang pesta panen padi huma dan makan adat yang penuh dengan nilai dan makna. Pesta ini biasa dilakukan setelah panen melimpah sebagai ungkapan syukur dan sebagai sarana untuk berkumpul kerabat besar.

Penelitian Naping, dkk (2003) menelaah tentang sejarah Halmahera Utara perkembangan peradaban di bumi Hibua lamo yang memberikan gambaran identitas dan nilai budaya Hibua lamo begitu padat yakni Hibua lamo sebagai warisan leluhur etnis di Halmahera Utara karena memiliki nilai historis sebagai ungkapan tautan pengikat dan menjadi semboyan pemersatu yang menghimpun dan memadu serasikan hidup, karya, harapan, cita-cita dan tujuan setiap anak negeri sekaum, dan entitas lainnya di jazirah Halmahera Utara serta kawasan sekitarnya dari pancaran talaga lina, guna mewujudkan kesejahteraan bersama.

Penelitian-penelitian selanjutnya adalah Masinambow dalam Manan (2014), mendefinissikan budaya dengan suatu istilah yang digunakan untuk mengacu kepada pengertian tingkah laku atau pola perilaku, kebiasaan atau nilai dan sitem nilai, seperti istilah tentang budaya bersih, budaya antre, budaya tertib, dan budaya merokok.  Sutherland, Woodward dalam Manan (2014), yang lebih awal meretas jalan ke arah studi budaya, khususnya tentang suku-suku di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa budaya meliputi seluruh cara berbuat dan seseorang mempelajarinya selaku anggota suatu masyarakat. Menurut mereka termasuk ke dalam budaya adalah pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, peralatan, dan cara berkomunikasi. Mulae, dkk (2011) melakukan penelitian terhadap etnik minoritas Kao di Halmahera Utara. Pada penelitiannya mereka fokus pada bahasa Kao dan kebudayaannya. Temuan penelitian mereka bahwa Bahasa Kao dan kebudayaannya memiliki relasi kekerabatan bahasa dan budaya pada masyarakat pribumi asli di Halmahera Utara. Kemudian, Endang Retno, dkk (2014), melakukan penelitian lagi mengenai seluk beluk etnik minoritas Kao dengan melakukan identifikasi bahasa dan kebudayaan etnik minoritas Kao. Pada penelitian mereka menemukan begitu banyak gambaran budaya tentang etnik minoritas Kao termasuk bahasa dan kebudayaan fisiknya yang mencirikan identitas keseharian. Mansur, dkk (2014) juga melakukan penelitian tentang persebaran bahasa-bahasa di pesisir Loloda. Mereka melakukan penelitian untuk mengetahui historis dialek bahasa-bahasa di kawasan Loloda Halmahera Utara. Pada penelitian mereka menemukan bahwa bahasa-bahasa di Loloda menunjukan ciri tersendiri dari unsur dialek Loloda.

Hubungannya dengan Pariwisata pada penelitian ini adalah melihat pada konteks fenomena perjumpaan kebudayaan dimana kebudayaan yang satu dengan yang lain di penduduk pribumi asli Halmahera Utara saling mempengaruhi. Dalam hal ini, kebudayaan lokal (penerima) cenderung berkedudukan sebagai variabel yang dipengaruhi (dependent variabel), dan kebudayaan asing sebagai variabel yang mempengaruhi (independent variabel). Pariwisata dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan kebudayaan antara kebudayaan wisatawan dengan kebudayaan penerima, (Pujaastawa,2017:23). Pariwisata budaya dipandang sebagai bagian dari fenomena sosial-budaya. Pengertian pariwisata dari dimensi sosial-budaya menitikberatkan perhatian pada perjalanan wisata, kegiatan yang dilakukan selama berada di tempat destinasi wisata, dan fasilitas-fasilitas yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Pengertian ini sejalan dengan pandangan Mathieson dan Wall dalam Gunn dalam Pujaastawa, (2017:14), bahwa “Tourism is the temporary movement of people to destinations outside their normal places of work and residence, the activities undertaken during their stay in those destinations, and the facilities created to cater to their needs”. Pengertian lainnya juga dikemukakan oleh Chadwick dalam Pujaastawa,(2017:14) bahwa pariwisata dari dimensi sosial-budaya menitikberatkan pada tiga aspek utama, yakni pergerakan manusia, aspek ekonomi atau industri, dan sistem interaksi antarmanusia, kebutuhan dan layanan untuk merespon kebutuhan yang diperlukan, “…identified three main concepts: the movement of people; a sector of the economy or industry; and a broad system of interacting relationship of people, their needs, and services that respond to these needs”. Ada pula definisi yang menekankan pada interaksi antara elemen lingkungan fisik, ekonomi, dan sosial budaya, yang dikemukakan oleh Leiper dalam Gartner dalam Pujaastawa, (2017:14), bahwa “an open system of five elements interacting with broader environments; the human element; tourists; three geographical elements: generating region, transit route, and destination region; and an economic element, the tourist industry. The five are arranged in functional and spatial connection, interacting with physical, technological, social, cultural, economic, and political factors. The dynamic element comprises persons undertaking travel which is to some extent, leisure-based and which involves a temporary stay away from home of at least one night:

Definisi lainnya yang lebih sederhana diajukan oleh Hunziker dalam French, Craig-Smith, Collier, dalam Pujaastawa,(2017:14-15), yang mendefinisikan pariwisata, yakni “….. the sum of the phenomena and relationship arising from the travel and stay of non-residents, in so far as the do not lead to permanent residence and are not connected with any earning activity” Definisi yang menekankan dimensi sosial-budaya, khususnya aspek sejarah dan budaya adalah seperti yang diajukan oleh MacCannell, dalam Herbert dalam Pujaastawa,(2017:14-15) adalah “Tourism is not just an aggregate of merely commercial activities; it is also an ideological framing of history, nature and tradition; a framing that has the power to reshape culture and nature to its own needs”.

Pariwisata bukanlah hanya kegiatan bisnis atau komersial semata, melainkan juga merupakan wahana bagi upaya untuk merevitalisasi sejarah, alam, dan kebudayaan. Dengan demikian pembangunan pariwisata berwawasan budaya di samping bertujuan untuk memperoleh manfaat bagi kesejahteraan ekonomi juga memberi manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan setempat, Pujaastawa (2017:14-15).

Pandangan beberapa penelitian diatas menegaskan bahwa penelitian ini memiliki perbedaan mendasar dengan penelitian terdahulu, sehingga menempatkan kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah belum terdapatnya penelitian yang menelaah secara mendalam tentang penelitian sistem nilai rumah adat-istiadat dan budaya rumah adat Hibua lamo, yang dihubungkan dengan pemajuan kebudayaan dan pariwisata di kabupaten Halmahera Utara. sehingga, penelitian ini menjadi menarik dan penting untuk dilakukan agar menemukan hubungan antara perjumpaan budaya melahirkan perkembangan pariwisata budaya di kabupaten Halmahera Utara.    

METODE DAN TEKNIK

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan antropologi pariwisata untuk mendeskripsikan permasalahan dan fokus penelitian. Metode yang digunakan dalam mengumpukan data adalah metode deskriptif diakronik dan sinkronik yang dirancang untuk memperoleh informasi tentang budaya, bahasa, atraksi wisata, dan sosial-budaya. Tujuan dari penelitian deskriptif diakronik dan sinkronik ini adalah untuk membuat deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diteliti sesuai pokok permasalahan yang diangkat. Moleong (2007) mendeskripsikan bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka. Pendekatan penelitian  kualitatif adalah pendekatan yang tidak menggunakan dasar kerja statistik, tetapi berdasarkkan bukti-bukti kualitatif (Sudjarwo, 2011). Sependapat dengan Moleong (2007) dan Sudjarwo (2011), Nasution (1996) menyimpulkan bahwa pendekatan kualitatfif adalah penelitian yang menampilkan prosedur penilaian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Metode kualitatif merupakan metode untuk menguji dan menjawab pertanyaan tentang bagaimana, dimana, apa, kapan, dan mengapa seseorang bertindak dengan cara-cara tertentu pada permasalahan spesifik, dan juga penelitian kualitatif harus menemukan informasi dan membangun suatu hipotesis (Oun dan Batch, 2014). The main purpose of scientific research is to deliver information and build a hypothesis. Thus, the research study should seek to put the findings in context. Research has to be in a high level in terms of quality in order for it to be result knowledge that we can use in practical life, and beyond all research settings such as observational environments or groups that contributed to the research with their participation.

Pemilihan pendekatan penelitian kualitatif dilakukan atas dasar spesifikasi subjek penelitian dan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan mencakup realitas sosial terkait sistem nilai rumah adat orang Tobelo, Galela, Loloda, dan Kao pada perubahan sosial-budaya dalam konteks perjumpaan kebudayaan. Kemudian, pendekatan dalam menganalisis data wisata budaya dan objek wisata budaya menggunakan pendekatan antropologi pariwisata. Sehingga dapat menemukan koherensi data yang tepat tentang upaya pemajuan pariwisata budaya di kabupaten Halmahera Utara. Konteks penelitian ini, peneliti menjelaskan data-data yang didapat peneliti dari observasi, wawancara, dokumentasi, studi lapangan, dan studi pustaka sehingga mendapatkan jawaban permasalahan penelitian dengan rinci dan jelas. Terkait dengan paradigma teoritik dalam kaitannya dengan pendekatan penelitian kualitatif, Agus Salim (2006) menegaskan bahwa pada dasarnya terdapat delapan paradigma dalam pendekatan kualitatif, yaitu Fenomenologi, Etnografi, Etnometodologi, Studi Kasus, Penelitian Grounded, Study Life History, Studi Hermeneutka, dan Studi Analisis Isi. Terdapat pula lima belas isu di seputar anggapan pada masing-masing paradigma di dalam berkegiatan penelitian kualitatif dalam pandangan Guba dan Lincoln (dalam) Denzin & lincoln dan Neuman dalam Agus Salim (2006:101), yakni Tujuan penelitian (Inquiry Aim), Teori, Hakekat Pengetahuan, Kedudukan akal sehat (role of common sense), Akumulasi pengetahuan (knowledge Accumulation), Eksplanasi, True Explanation, Bukti yang baik (Good Evidence), Kriteria Kualitas, Nilai, Etika, Panduan terhadap kedudukan Periset, Training, Akomodasi, dan Hegemoni.

Berdasarkan dengan paradigma yang dikemukakan diatas penelitian ini menganut paradigma positivistik untuk mengungkap kebenaran pada sistem nilai budaya rumah adat Hibua lamo pribumi asli Halmahera utara dalam konteks sosial-budaya (pariwisata budaya) dikeseharian aktifitasnya.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yang kaitannya dengan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis data. Menggunakan Teknik pengumpulan data dengan Observasi, wawancara, diskusi kelompok, membaca dan mencatat, merekam dan mencatat. Analisis data deskriptif, kualitatif yakni menguraikan, membandingkan, mengklasifikasikan, mentabelkan, membagankan. Penyajian data formal (foto), informasi (narasi kata-kata), ditayangkan, dipresentasikan, dicetak dan disebarluaskan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem nilai Hibua lamo

Hibua lamo, pada penelitian ini peneliti lebih apik menulisnya dengan menggunakan dua suku kata terpisah menjadi Hibua lamo karena telaah morfologi bahasa menunjukkan terdapat dua suku kata /hibua/ dan /lamo/, serta memiliki fonem /h-i-b-u-a/ dan  /l-a-m-o/. Penulisan kata /hibualamo/ seperti ini dari dua suku kata banyak ditemukan pada artikel penelitian atau buku referensi tetapi maksud peneliti atau penulis tidak dijelaskan secara tuntas sehingga tidak diketahui sebetulnya apa maksud penulisannya digabung. Dugaan peneliti penulisan kata /hibualamo/ yang digabung boleh jadi mengikuti selerasanya masing-masing tidak menggunakan telaah ilmu bahasa.

Sistem nilai rumah adat orang pribumi asli (orang Tobelo, Kao, Galela, dan Loloda) bernama Hibua lamo. Penamaan Hibua lamo di masing-masing etnis ada sedikit perbedaan dari segi penyebutan. Orang Tobelo menyebutnya Halu, yaitu rumah besar memiliki delapan sudut, warisan para leluhur, atau sebutan sibua lamo untuk orang Galela dan Loloda, dan orang Kao menyebutnya rumah adat sasaluk. Pengungkapan Hibua lamo memiliki dua suku kata yang memiliki makna Hibua (rumah), lamo (besar). Hibua lamo merupakan ungkapan semboyan pemersatu yang menghimpun, memaduserasikan hidup, karya, harapan, cita-cita dan tujuan setiap anak negeri di masyarakat Halmahera Utara (Naping, dkk).  Hibua lamo merupakan simbol kebudayaan orang Tobelo, Galela,  Loloda, dan Kao, yang memiliki sistem nilai sangat tinggi dan penting untuk membicarakan tentang budaya, adat-istiadat, perkawinan, perdamaian, dan kekuasaan.

Keberadaan rumah adat Hibua lamo masih dapat di lihat sampai saat ini di pusat kota Tobelo dibangun oleh Pemerintah daerah kabupaten Halmahera Utara pada pemerintahan bupati Hein Namotemo. Pandangan orang Tobelo, Galela, Loloda, dan Kao tentang Hibua lamo merupakan peninggalan dari para leluhur yang dibangun melalui sembilan soa (kumpulan kekerabatan keluarga). Sembilan soa itu bermukim di Talaga Lina dengan berpencar mencari sumber kehidupan baru di wilayah adatnya masing-masing, yakni lima dari sembilan soa pergi ke wilayah adat Kao, yang membentuk suku-suku, yakni suku Pagu, Boeng, Modole, Kau (kao), dan  Isham, dalam himpunan satu Sangaji, yakni Sangaji Kao di masa kesultanan Ternate berkuasa. Namun, saat ini sudah berubah dengan sebutan sangaji tiwiliku (sangaji pengikat) di wilayah Kao yang dibentuk oleh pemerintah daerah kabupaten Halmahera Utara pada masa bupati Hein Namotemo.  Sedangkan empat soa lainnya menuju utara (o koremie) yang saat ini masuk wilayah Tobelo adalah soa lina, soa Huboto, soa momulati, dan soa Gura.

Menurut Penelitian Nanuru (2011) bahwa Halmahera Utara saat itu berada di bawah pemerintahan Sultan Ternate. Halu yang dibangun oleh empat soa di wilayah Tobelo mengalami kebakaran yang menghanguskan habis rumah halu itu. Sehingga sultan Ternate mengunjungi empat soa itu, dan oleh Sultan Ternate, wilayah itu dinamai ‘Gamhoku’ (Gam: negeri, Hoku: terbakar). Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di tempat yang diberi nama ‘Tobeloho’, yang artinya bertancap, dalam arti luas kata tersebut berarti ‘saya tidak akan kemana-mana lagi’. Tekad mereka untuk kehidupan yang lebih baik tentunya memerlukan kesabaran yang dibarengi rasa kekeluargaan yang tinggi sehingga Sultan Ternate mengajak mereka untuk bersama-sama membangun sebuah tempat bernaung yang mampu menampung banyak orang. Kampung Gamhoku sampai saat ini masih ada. Gamhoku adalah suatu desa berada di wilayah administrasi kecamatan Tobelo Selatan. Penelitian ini menegaskan bahwa asal muasal nama Tobelo berasal dari istilah yang dituturkan orang-orang Tobelo yang pernah tinggal di kampung terbakar (Gamhoku) kemudian berpindah tempat atas perintah sultan Ternate dengan nama Tobeloho kemudian kata ini mengalami penghilangan previfiks /ho/ sehingga menjadi /Tobelo/ dan nama ini terpakai sampai saat ini.

Sesuai kesepakatan dari keempat Soa, dibangunlah sebuah rumah besar yang dalam bahasa lokal dikenal dengan nama Hibua lamo, bentuk bangunan Hibua lamo, pada saat itu relatif bundar dan sederhana karena sangat dipengaruhi oleh peristiwa melilitkan gadoro atau iwi/uri di pergelangan tangan masing-masing. Seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, eksistensi Hibua lamo pun mulai bergeser. Apalagi setelah terjadi konflik bernuansa sara yang melanda Maluku dan merambat ke Maluku Utara pada tahun 1999, termasuk Halmahera Utara, membuat pandangan terhadap Hibua lamo juga bergeser dari arti sebelumnya. Hibua lamo, dalam hal ini terkesan ditafsirkan secara baru. Selain itu, arsitekturnya pun tidak sama lagi dengan bentuk aslinya (Hibua lamo versi modern).

Hibua lamo masa kini difungsikan sebagai tempat dilaksanakannya upacara-upacara adat dan sebagai tempat pertemuan pemimpin bersama rakyat. Rumah adat kebanggaan masyarakat Halmahera utara ini memang sudah mengalami perubahan bentuk dari aslinya ke bentuk modern. Hibua lamo yang berarti rumah besar memiliki makna material yaitu rumah besar persegi delapan, juga memiliki makna spritia, yaitu semangat kebersamaan, kekeluargaan, kekerabatan, dan kesetaraan yang saling menghargai satu dengan orang lain. Menurut penelitian Tohe, dan Miradj (2015) bahwa secara filosofi Hibua lamo terdapat lima unsur utama terdapat di dalam Hibua lamo, yaitu Odora bermakna kasih sayang, Ohayangi bermakna sayangi (menyayangi/tolong-menolong, Obaliara bermakna pelihara/peduli/tolong-menolong, Oadili bermakna keadilan/persamaan kesetaraan derajat, dan O diai bermakna kebenaran/kejujuran. Kemudian, Naping, dkk (2013) menegaskan dalam telaah pada sejarah perkembangan peradaban di bumi Hibua lamo menempatkan nilai-nilai luhur Hibua lamo, terdapat O’dora, O’banari, O’adili, O’leleani, O’tiai, O’doomu, O’baliara, dan O’hayangi. Nilai-nilai luhur Hibua lamo tersebut terpadu dalam lima nilai utama, yakni nilai kasih sayang (O’dora-O’hayangi), nilai kebenaran dan keadilan (O’banari- O’adili), nilai ketulusan dan kepedulian (O’tiai-O’baliara), nilai kepelayanan (O’leleani), dan nilai persekutuan (O’doomu).

Simbol Hibua lamo berbentuk persegi delapan sebagai manifestasi bentuk fondasi atau bentuk bidang rumah adat. Hibua lamo merupakan spirit delapan penjuru mata angin. Hibua lamo memiliki empat pintu utama yang melambangkan empat pokok utama arah mata angin. Keempat pintu tersebut adalah wange mahira bermakna pintu timur, wange madumu bermakna pintu barat, koremei bermakna pintu utara, dan korehara bermakna pintu selatan. Hibua lamo pintu utamanya menghadap ke arah matahari terbit (matahari pica) yang bermakna sumber kehidupan orang pribumi asli Tobelo, Galela, Kao, dan Loloda (Togale).

Hibua lamo dalam pusaran pariwisata budaya

Simbol-simbol artefak dan artistik seni budaya Hibua lamo dapat disimak dalam makna simbol-simbol Hibua lamo dalam telaah oleh E.J.Papilaya (2010) bahwa simbol-simbol itu terdiri dari delapan bagian, yang tertata rapih dalam artefak adat orang Tobelo, Galela, Loloda, dan Kao. Delapan bentuk itu adalah huba,suba/somba djou, riak ombak, perahu kora-kora, parang dan salawaku, mafana, manamata, bumbungan rumah, motif ventilasi, mata rantai bertaut, dan oktagon atau segi delapan. Saat ini pelestarian nilai-niai budaya rumah adat Hibua lamo dalam pemanfaataan untuk kepentingan pariwisata budaya mengalami penurunan peran pemerintah daerah. Nilai-nilai rumah adat Hibua lamo dalam kepentingan kepariwisataan yang gencar dilakukan adalah pada masa dua periode pemerintahan Hein Namotemo (2005-2010; 2010-2015), saat itu dikembangkan oleh Papilaya (2010) selaku kepala dinas Pariwisata kabupaten Halmahera Utara. Seluruh pegawai pemerintah daerah setiap hari rabu berjalan diwajibkan untuk menggunakan pakaian adat yang motifnya terdapat nilai-nilai Hibua lamo. Kepentingan nilai-nilai Hibua lamo pada masa pemerintahan Hein Namotemo sangat kuat sehingga membawanya menjadi dua periode kekuasaan sebagai bupati sekaligus berperan menjadi tokoh adat yang dijuluki jiko makowano (penguasa teluk). Peran pemerintah Hein Namotemo saat itu mengemukakan nilai-nilai adat begitu kental di pemerintahan sehingga berdampak sampai pada lembaga masyarakat di desa-desa di Halmahera Utara. Hampir semua kebijakan pemerintah saat itu menjadikan adat menjadi panglima untuk pembangunan kabupaten Halmahera Utara. Strategi pelestarian rumah adat Hibua lamo untuk pemajuan sektor pariwisata budaya di kabupaten Halmahera Utara dapat menjadi berkembang dengan baik jika ada political will dari Pemerintah Daerah dan Lembaga Eksekutif dengan membuat peraturan daerah tentang pelestarian rumah adat Hibua lama untuk pemajuan kebudayaan dan pariwisata budaya.

Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan beberapa simpulan untuk menjadi rujukkan para pemangku kepentingan.

Pertama, rumah adat hibua lamo tidak sekadar bangunan yang berdiri kokoh di tengah kota Tobelo tetapi adalah suatu simbol rumah adat etnisitas pada etnis Tobelo, Galela, Loloda dan Kao: Pagu, Modole, dan Boeng di kabupaten Halmahera Utara. Kedua, rumah adat hibua lamo memiliki padat makna tradisi lokal yang dimiliki dalam kehidupan dan keseharian etnis Tobelo, Galela, Loloda dan Kao: Pagu, Modole, dan Boeng di Kabupaten Halmahera Utara.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta; Jakarta.

Abdullah, Abubakar., dkk (Penyunting). 2023. Mozaik Rempah Masa Lalu di Masa Kini.Yoyakarta: PT Kanisius (Anggota IKAPI).

Adnan Amal, M. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950 (edisi kedua). Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia.

Dinsie, Amas, H. dan Taib, Rinto. 2008. Ternate (Sejarah, Kebudayaan & Pembangunan Perdamaian Maluku Utara. Ternate. Lembaga Kebudayaan Rakyat Moloku Kie Raha (LeKRa-MKR).

Goodman, Douglas J., dan Ritzer George. 2007. Teori Sosiologi Modern, Edisi Ke-6. Jakarta: Kencana.

Hasim, Rustam. –. Sultan Dalam Sejarah Politik Ternate 1945-2002. Ternate: LepKhair.

Koentjaraningrat. 2010. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Cet. Ke23. Jakarta: Djambatan.

Karman, Andi Sumar (Ed). 2017. Pulau Taliabu: Sejarah, Masyarakat, dan Perubahan. Ternate. Program Studi Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun.

Nasution, S. 2009. Metode Research. Bumi Aksara, Jakarta.

Nasution, (2009). Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Naping, Hamka., dkk.2013. Halmahera Utara: Sejarah Perkembangan Peradaban di Bumi Hibua lamo.Makassar: Yayasan Bina Generasi Makassar.

Nyoman, Kutha Ratna. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya Dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian kajian Budaya dan ilmu Sosial Humaniora pada umumnya. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Rachman Partji, Abdul (Ed). 2014. Bahasa, Kebudayaan, dan Pandangan Tentang Kebebasan Masyarakat Penutur Bahasa Kafoa di Alor, Nusa Tenggara Timur. Jakarta: LIPI Press.

Retno, Endang, dan Manan, Azzam M (Ed).2014. Identifikasi Bahasa dan Kebudayaan Etnik Minoritas Kao. Jakarta: LIPI Press.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D. Alfabeta, Bandung.

Sugiyono.2010. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & B. Bandung: Alfabeta,CV

Sugiyono.2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta,CV

Wijana, I Dewa Putu dkk. 2006. Sosiolinguistik. Pustaka Pelajar; Yogyakarta.

___.2008. “Pemetaan Bahasa Daerah di Maluku Utara : sebaran, wilayah pakai dan Pola Penggunaan” . Fakultas Sastra dan Budaya; Universitas Khairun.

 

 

 

 

 

 

 

 

Penulis: Sunaidin Ode MulaeEditor: Harun Gafur