Strategi bukan monopoli militer, walaupun pada awalnya memang begitu, Istilah “strategi” kini sudah menjadi umum. Begitu terlepas dari batasan medan pertempuran, ia lalu malah mencakup semua bidang kegiatan human, masing-masing mengklaim strateginya sendiri. Mengingat setiap aksi human tidak terjadi di awang-awang, tetapi di medan kebumian tertentu, maka baik politik maupun strategi dituntut memperhitungkan geografi. Maka, lahirlah pemikiran geopolitik, geostrategic, geoekonomi, geokultur, geopendidikan, dan geodiplomasi. Bukan kebetulan kalau nenek moyang kita menyebut Indonesia sebagai “Tanah Air”. Bumi Indonesia adalah suatu arsipelago, yang terbesar dari jenisnya di Planet Bumi. Lautanya seluas 5,8 juta kilometer persegi, merupakan 75 persen daripada keseluruhan luas permukaan wilayah nasional yang diakui dunia internasional; sisanya seluas 25 persen adalah daratan yang berbentuk pulau-pulau besar dan kecil sebanyak 17.840. dengan kata lain, NKRI secara alami adalah Negara-Bangsa maritim. Justru kenyataan alami inilah yang sangat diabaikan oleh pemerintah kita yang sempat berkuasa silih berganti. Padahal, kita diniscayakan membangun Indonesia, tanah air sacral ini, menjadi satu kekuatan laut demi ketahanan nasional.
Geopiltik dan Geostrategi Ketahanan Nasional
Geostrategi adalah saudara kembar dari geopolitik. Keduanya merupakan bagian integral dari geografi umum. Orang yang merasa terpanggil untuk memimpin suatu komunitas, mengatur (govern) sebuah Negara, perlu mengetahui dan memanfaatkan bantuan yang dapat diberikan oleh geografi dalam bertindak, yaitu ketika memilih dan menerapkan suatu politik, lebih-lebih sejak metode dan peralatan ilmiah modern memungkinkan orang mengetahui persis bumi dengan segala aspeknya.
Sementara geopolitik cukup berpengertian sendiri, geostrategic selaku adik kembar tidak begitu. Pendefenisiannya memerlukan acuan pada kakak kembarnya. Walaupun sama-sama menggarap hal-hal serupa, menurut Laksada Francois Caron, geopolitik tidak bisa lain daripada studi faktor-faktor umum yang dimensinya bersifat menyentuh lebih dalam, ke satu atau lain makna, dari proyek politik. Sedangkan geostrategic menganalisis seluruh ragam data yang tergolong baik pada ekonomi, sosiologi, demografi maupun pada bidang militir, yang bisa menyentuh strategi umum yang dirumuskan oleh Negara. Dengan kata lain, geopolitik adalah studi proyek sedangkan geostrtegi merupakan studi pelaksanaan, biasanya dengan pelaksanaan peperangan. Berhubung peperangan biasanya berkecamuk di suatu ruang (space), maka sejak awal penampilannya geostrategic sudah menjadikan ruang sebagai suatu kategori utama dari pemikiran strategis, yang jelas tercatat dalam dimensi “geo”. Namun, bukan lalu berarti bahwa setiap strategi adalah geostrategi.
Mengingat pengalaman-pengalaman selama perang Dunia pertama dan kedua, perhatian disiplin geostrategi menjadi kian meluas begitu rupa hingga melampaui atmosfer militer. Peperangan tradisional sebelum kedua perang besar tersebut diselesaikan oleh kekuatan militer melulu. Masalah pokok pemerintah di situ hanya menyangkut pembiyaannya. Berhubung urusan pokok peperangan bersifat finansial semata-mata, maka demografi, teknik, dan ekonomi hanya menjadi faktor-faktor sekunder.
Faktor-faktor itulah yang sebut oleh sejarawan Inggris, Michel Howard, sebagai “the forgotten dimensions of the strategy”. Berarti kini ada keharusan menunjang kekuatan militer dengan suatu kekuatan global karena hanya dengan menopang seperti itu yang memungkinkan suatu strategi, di zaman perang total, bisa bertahan relatif lama. Maka, geostrategi kini merupakan suatu respons terhadap tuntutan tersebut, berusaha mengevaluasi kapasitas global dari suatu Negara atau suatu zona.
Dahulu ketika peperangan terjadi semata-mata antara bala tentara beridentitas jelas, tanpa pelibatan efektif bagian-bagian lain dari negeri dalam aksi bersenjata tersebut, defenisi strategi bisa saja dibuat sederhana. Dewasa ini keadaan sudah sangat berubah. Peperangan berkondisi total, kekuatan-kekuatan yang terlibat tidak lagi sebatas tentara, tetapi seluruh negeri, di mana setiap kegiatan turut menyumbang usaha peperangan, dari sejak persiapan (perencanaan) dan terbuka bagi hantaman lawan. Maka, strategi bukan lagi semata-mata militer, tidak lagi berupa urusan militer belaka, jauh daripada okupasi khas kementerian pertahanan dan keamanan. Berarti perlu diperhitungkan faktor-faktor variabel dari geopolitik yang banyak sedikitnya tergantung pada konjungtur suksesif yang kita temukan atau bakal hadapi.
Dengan kata lain, demi ketahanan nasional (national resilence) kita kini perlu memberi perhatian secukupnya pada aspek khas geografi Indonesia, yaitu “archipelago”, bukan Negara kepulauan tapi Negara maritime, bukan Negara continental. Kesadaran nenek moyang kita sebagai bangsa maritim ternyata jauh lebih besar daripada keturunannya sekarang. Sudah cukup lama kita abaikan pesan pemaknaan implisit dari ungkapan “Tanah Air”, dimana airlah yang merupakan permukaan terluas dari keseluruhan permukaan wilayah nasional yang diakui dunia, sebesar kira-kira 75 persen. Selain ini terpaut erat dengan factor air tersebut, kedaulatan nasional kita juga terganggu oleh keluasan udarah yang dibiarkan polos. Jadi perlu ada studi pembaruaan geopolitik di zaman kelautan dan kedirgantaraan.
Daratan, lautan, dan udarah, masing-masing cenderung punya strateginya sendiri, walaupun berprinsip sama, namun peralatan dan ketentuan (imperatives) yang berunsur begitu berbeda, bisa menghasilkan doktrin pertahanan yang berlawanan hingga, bila dibiarkan berlarut-larut, bermuara pada national misadventure. Intervensi dan transformasi yang mendalam di bidang peralatan dan persenjataan militer, progres teknologis dan evaluasi dunia itu sendiri, bisa mengikis, paling sedikit mengurangi, sebagian terbesar daripada perbedaan-perbedaan tadi secara objektif, dan memberikan peranan baru pada faktor-faktor geografis dalam pemikiran strategis. Kita lihat World Political Geography renungan dari Etzel dan Fified atau Imperial Military Geography buah pikiran dari Cola. Mungkin baik sekali bila para pamikir atau intelektual kita terus memperhatikan sepak terjang Amerika Serikat, suatu Republik Imperial, yang berambisi menjadi “Polisi dunia”, bukan untuk kepentingan seluruh dunia, tetapi untuk kepentingan nasional yang dikemas sebagai kepentingan hidup human.***