*Pendahuluan*
Cukup menarik dengan viralnya akun fufufafa, dianalisa secara ketat dan komprehensif oleh netizen dan juga awak media, inilah bentuk kreatifitas dalam era informasi digital yang serba cepat, maka untuk itu kita sebagai jurnalis yang memegang peran krusial sebagai penjaga gerbang informasi yang akurat, terpercaya, dan relevan. Sudah kita saksikan bersama, bagaimana netizen begitu ahli dalam segala sisi sehingga banyak para ahli multimedia, pakar telematika, jurnalis senior terkapar dengan analisanya, namun, sekarang kita mencoba mengambil peran ini dalam menuntut literasi jurnalistik yang tinggi agar jurnalis tidak hanya mampu melaporkan berita dengan benar, tetapi juga turut mencerdaskan bangsa melalui informasi yang disajikan. Perlunya literasi bagi jurnalis bukan hanya tentang kemampuan teknis dalam menulis atau melaporkan berita, tetapi juga melibatkan tanggung jawab moral dan etika dalam penyajian fakta serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam diskusi publik yang sehat. Ini baru permulaan, selanjutnya kita bahas satu demi satu.
*Contoh kasus minimnya literasi jurnalis*
Dalam berbagai kasus, jurnalis dengan literasi ekonomi yang rendah terkadang salah memahami atau salah melaporkan kebijakan ekonomi yang kompleks. contohnya ketika kebijakan moneter atau fiskal dijelaskan dengan cara yang membingungkan, tanpa memperhitungkan konteks atau dampak yang lebih luas. Hal ini terjadi ketika jurnalis tidak memiliki dasar pemahaman yang kuat tentang ekonomi, sehingga berita menjadi bias dan tidak memberikan pandangan yang objektif. Selanjutnya ada berita hoaks politik yang dipublikasikan oleh media menunjukkan kurangnya literasi jurnalis dalam memverifikasi fakta. Misalnya, selama pemilu di berbagai negara, beberapa media melaporkan berita yang tidak diverifikasi dengan benar, seperti tuduhan kecurangan pemilu tanpa bukti atau berita yang hanya didasarkan pada rumor. Ketidakmampuan memeriksa fakta dan sumber berita secara mendalam menjadi salah satu tantangan yang merusak integritas jurnalistik. Selanjutnya ada penyalahgunaan data dan statistik, dalam isu-isu seperti perubahan iklim atau isu sosial yang memerlukan pemahaman statistik, banyak jurnalis yang tidak memiliki literasi data yang cukup, sehingga salah menyampaikan informasi. Misalnya, laporan tentang tingkat kejahatan atau statistik ekonomi sering disalahartikan karena jurnalis tidak memahami metode pengumpulan data atau cara interpretasi angka secara tepat. Ini dapat menyesatkan publik dan memperkuat narasi yang salah. Contoh terakhir pada liputan konflik dan isu global, seperti kasus peliputan konflik internasional sering menunjukkan rendahnya literasi sejarah dan geopolitik pada sebagian jurnalis. Misalnya, dalam peliputan konflik di Timur Tengah, beberapa media menyederhanakan masalah yang sangat kompleks menjadi pertarungan antara pihak baik dan pihak jahat, tanpa menjelaskan latar belakang sejarah, politik, dan sosial yang rumit. Minimnya literasi geopolitik ini membuat pemberitaan menjadi tidak berimbang dan kurang informatif.
*Dampak Minimnya Literasi Bagi Jurnalis*
Minimnya literasi bagi jurnalis dapat berdampak pada kualitas pemberitaan dan penyampaian informasi kepada publik. Ada beberapa tantangan yang muncul dari rendahnya tingkat literasi di kalangan jurnalis. Pertama, kurangnya kedalaman analisis, sehingga Jurnalis yang memiliki literasi rendah mungkin tidak mampu memberikan analisis yang mendalam dan kritis dalam berita yang ditulis. Hal ini bisa menyebabkan pemberitaan menjadi dangkal dan hanya menyajikan informasi permukaan tanpa menjelaskan konteks atau latar belakang secara komprehensif. Kedua, penyebaran misinformasi, akibat minimnya literasi, terutama dalam hal digital, sains, atau kebijakan publik, dapat membuat jurnalis lebih rentan terhadap misinformasi. Jurnalis mungkin tidak mampu memverifikasi sumber informasi dengan baik atau memahami isu yang kompleks, sehingga menyebarkan berita yang kurang akurat. Ketiga, kesulitan memahami isu teknis, Jurnalis seringkali harus meliput isu yang teknis, seperti teknologi, ekonomi, atau hukum. Tanpa literasi yang memadai dalam bidang tersebut, sulit bagi jurnalis untuk menyampaikan informasi yang akurat dan dapat dipahami oleh pembaca. Keempat, tantangan dalam mengkomunikasikan data, karena banyak isu saat ini bergantung pada data statistik dan analisis angka. Jurnalis dengan literasi data yang rendah akan kesulitan menyajikan data secara jelas dan bermakna bagi publik. Kelima, etika dan tanggung jawab jurnalistik, jurnalis yang kurang literasi cenderung tidak memahami tanggung jawab atau dikenal dengan kode etik jurnalistik. Ini bisa berakibat pada berita yang bias, tidak berimbang, atau sensasional tanpa memperhatikan dampak pada masyarakat, bisa saja menjadi blunder di masyarakat dan berakibat fatal pada tatanan isu sosial.
*Pentingnya Literasi Jurnalis dalam membangun Demokrasi*
Di tengah maraknya hoaks dan disinformasi, literasi jurnalistik yang baik merupakan benteng pertahanan utama dalam menjaga demokrasi. Jurnalis yang literat memiliki kemampuan untuk menyaring informasi yang valid dan menyampaikannya dengan objektivitas. Dengan demikian, masyarakat yang mengonsumsi berita tersebut dapat memiliki pemahaman yang lebih jelas tentang isu-isu penting di sekitar mereka, mulai dari politik, sosial, hingga ekonomi. Di sisi lain, jurnalis juga berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Melalui pemberitaan yang jujur dan adil, jurnalis membantu masyarakat memahami kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, serta menuntut akuntabilitas dari para pemangku kepentingan. Hal ini memungkinkan terciptanya keterbukaan dan transparansi dalam pemerintahan, yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi yang sehat.
*Literasi Jurnalis dalam Era Digital*
Era digital membawa tantangan baru bagi jurnalis. Kecepatan penyebaran informasi melalui media sosial sering kali mengalahkan proses verifikasi fakta, yang dapat menyebabkan penyebaran informasi palsu. Literasi digital menjadi bagian penting dari literasi jurnalis, di mana jurnalis harus menguasai cara memverifikasi informasi dari berbagai sumber digital, memahami algoritma media sosial yang dapat mempengaruhi persebaran berita, dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip jurnalisme yang jujur dan berimbang. Jurnalis yang melek digital juga harus peka terhadap dampak berita yang ditulis di media sosial. Dalam beberapa kasus, judul berita yang sensasional tanpa konteks yang jelas dapat memicu polemik atau bahkan konflik. Oleh karena itu, pemahaman tentang etika digital menjadi aspek penting dari literasi jurnalis di era modern.
*Etika dan Tanggung Jawab Sosial*
Jurnalis tidak hanya bertanggung jawab pada akurasi informasi yang disampaikan, tetapi juga pada dampak sosial dari berita yang dipublikasikan. Literasi jurnalis mencakup pemahaman tentang etika jurnalistik, yang meliputi prinsip-prinsip seperti independensi, objektivitas, keadilan, dan integritas. Ketika meliput berita yang sensitif, seperti isu suku, agama, ras, antra golongan, agama, atau konflik politik, jurnalis harus memastikan bahwa berita yang disampaikan tidak memperkeruh suasana atau menyulut kebencian. Sebagai penggerak perubahan sosial, jurnalis juga harus berperan aktif dalam mendukung kemajuan bangsa melalui tulisan-tulisan yang konstruktif. Jurnalis yang baik tidak hanya melaporkan peristiwa, tetapi juga mengangkat isu-isu yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, hak asasi manusia, dan lingkungan. Dengan demikian, jurnalis berperan sebagai agen perubahan yang mendorong masyarakat untuk berpikir kritis dan terlibat dalam solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi bangsa.
*Menumbuhkan Literasi Jurnalis di Kalangan Muda*
Pendidikan literasi jurnalistik harus dimulai sejak dini, terutama di era di mana setiap individu memiliki potensi menjadi penyampai informasi melalui media sosial. Mengajarkan generasi muda tentang pentingnya verifikasi informasi, integritas dalam menyampaikan fakta, dan tanggung jawab sosial dalam menyebarkan berita, dapat menciptakan jurnalis-jurnalis masa depan yang lebih literat dan berkomitmen pada kebenaran. Lembaga pendidikan, media, dan organisasi jurnalis harus bekerja sama dalam menyelenggarakan pelatihan literasi jurnalis bagi generasi muda, termasuk pelatihan etika jurnalistik, cara melakukan investigasi yang mendalam, serta pemahaman tentang teknologi digital yang mendukung kerja jurnalisme modern.
*Kesimpulan*
Literasi jurnalis merupakan kunci bagi jurnalisme yang berkualitas dan berintegritas. Jurnalis yang literat memiliki kemampuan untuk menyampaikan informasi yang akurat, mendidik masyarakat, serta mendorong partisipasi aktif dalam kehidupan demokrasi. Di tengah tantangan era digital, literasi jurnalis juga mencakup pemahaman tentang etika digital, tanggung jawab sosial, dan kepekaan terhadap dampak berita yang disampaikan. Oleh karena itu, literasi jurnalis harus terus ditumbuhkan dan diperkuat, tidak hanya di kalangan jurnalis profesional tetapi juga di kalangan masyarakat luas, agar bangsa ini dapat terus berkembang dengan informasi yang sehat dan berimbang. Akhir kata, kalau bukan kita, siapa lagi, kalau bukan sekarang, kapan lagi. Wallahul muwaffiq ila aqwamit-thariiq, billahi fii sabililhaq fastabiqul khairat
*SWI..