Dolo-dolo dalam bahasa adat Galela memiliki arti sebagai kentongan sedangkan tatake memiliki arti alat pemukul dari rotan. Dolo-dolo adalah salah satu alat tradisional Galela yang biasanya digunakan sebagai alat peringatan ketika terjadi bencana alam, sinyal komunikasi jarak jauh, tanda bahaya, terjadi masalah di kampung serta penanda waktu shalat. “Dolodolo (kentongan) pun dibunyikan sebagai isyarat agar semua penduduk dusun Lisawa berkumpul. Mereka bergegas untuk datang dan mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh sang Tetua adat. Suasana pun berubah menjadi hening. Hanya bunyi desiran angin dan desahan napas penduduk yang terdengar”. Sebuah teks cerita di atas diambil dari buku Kisah Boki Dehegila (antologi cerita rakyat maluku utara 2011) pada halam 3-6. Di Mamuya pada masa Kimalaha (kepala desa) Almarhum Mahmud Do Bayan (masa jabatan 1971-1998), dolo-dolo masih dipergunakan ketika memberi peringatan soal kepetingan di dalam kampung. Namun dolo-dolo yang dipakai tidak terbuat dari bambu melainkan kayu yang berukuran lebih dari 105 cm Diameter 77 cm dan digatung di depan dadaru (rumah singgah) di dalam desa.
Dari hasil wawancara M. Diadi, (Darmin, Amin, dan Sahril; 11/03/24), menyatakan biasanya dolo-dolo pada tahun 70-90’an itu dipakai oleh seluruh masyarakat Galela terkhususnya Mamuya yang pekerjaannya sebagai petani. Dolo-dolo bagi mereka adalah alat komunikasi ketika berada dikebun yaitu sebagai penanda waktu makan, istrahat, shalat, bahaya dan bahkan ketika mereka mau pulang dari kebun. Namun dolo-dolo tidak sembarang di pukul karena ada aturan dalam memainkan dolo-dolo sehingga bunyi yang dihasilkan itu bisa dimengerti oleh orang yang mendengar artinya setiap informasi atau pesan yang disampaikan memiliki tanda bunyi dengan ritme masing-masing. Sehingga siapa yang mendengar bisa tahu bahwa bunyi atau ritme dari dolo-dolo menunjukan kegiatan apa yang harus dilakukan sehingga tidak salah dalam menerima informasi atau pesan tersebut. Mungkin itu saja narasi saya soal alat tradisional “dolo-dolo” yang saya kutip dari beberapa referensi dan hasil wawancara saja dengan beberapa orang tua di desa. Semoga bisa menambah khanzana pengetahuan kita terhadap kebudayaan orang Galela yang hampir hilang oleh derasnya modernitas.
Mamuya, 11 Maret 2024
Narasi : Muhammad Diadi
Editor : Harun Gafur