Sebagian besar masyarakat Islam menganggap bahwa ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang menempati kedudukan istimewa dalam kehidupan keagamaannya. Hal demikian bisa kita buktikan melalui kenyataan akan besarnya minat masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji dalam setiap tahunnya. Data statistik yang ada pada kantor urusan haji menunjukkan peningkatan yang berarti setiap tahunnya. Jaqob Vandenbergt (1997:45), menganganggap ibadah haji sebagai bagian dari ritus kehidupan muslim Indonesia. Melalui etos sosial dan perilaku keagamaan, ibadah haji sering diidentifikasikan sebagai upacara transisi yang mengakhiri kurun waktu kehidupan tertenteu menuju kurun waktu yang baru. Mengikuti tipologi Clifford Geertz, Jaqob Vandenbergt membagi ritus kehidupan haji dalam tiga kategori: kategori anak muda, kategori usia lanjut dan kategori pegawai negeri pensiunan. Fakta mengenai besarnya minat untuk berhaji tersebut telah menarik perhatian tersendiri, mengingat di satu sisi haji adalah cabang ibadah yang sangat bergantung pada kemampuan finansial (ONH) yang relatif mahal, dan secara umum ibadah tersebut hanya bisa dijangkau oleh mereka yang mampu (istitha’ah). Tokoh-tokoh politik Muslim yang tersandung masalah hukum, terutama korupsi yang menggorogoti nilai-nilai kemanusian, umumnya sudah bergelar haji, Tokoh Politisi, dan PB Organisasi yang terkenal yang hangat dibicarakan karena skandal vidio mesum juga bergelar haji. Bahkan pasangan selingkuhnya juga pernah menunaikan ibadah haji.
Ibadah Haji dan Wahana Introspeksi
Karena itulah momentum pelaksanaan haji akan amat baik jika dijadikan wahana introspeksi. Haji, seperti juga ibadah-ibadah lain dalam islam, tak bermakna apa-apa jika tidak fungsional bagi kesalehan pribadi dan sosial. Apalagi belakang ini di negeri kita, musibah tengah datang silih berganti. Tentu akan sangat produktif sekiranya ibadah haji tahun ini bisa di jadikan sebagai momentum penyadaran kemanusian. Demikian ibadah haji tidak hanya berhenti pada pengalaman kenikmatan spritual-individual semata. Tapi berlanjut, bahkan berdampak pada penghayatan dirinya akan tanggung jawab sosial-kemanusian.
Salah satu bukti jelas bahwasahnya ibadah haji bisa dijadikan sebagai media yang efektif bagi penghayatan nilai-nilai kemanusian secara universal adalah isi khotbah rasulullah pada kesempatan haji wada’. Dalam haji perpisahan (wada’) itu, rasul sangat menekankan pentingnya nilai persamaan (equlity), keadilan (justice), dan keharusan memelihara harta, jiwa dan kehormatan orang lain, serta bersih larangan melakukan penindasan terhadap kaum lemah (dla’if). Nilai persamaan, misalnya, menjadi pesan sejati ibadah haji. Hal itu dibuktikan dengan pakaian “ihram” yang menjadi simbol persamaan abadi sesama manusia. Sebab, dalam kehidupan sehari-hari, pakaian menjadi simbol perbedaan kelas; antara si kaya dengan si miskin, si pejabat dengan rakyat biasa. Bahkan, kata pemikir Iran Ali Syari’ati bahwasanya “pakaian melambangkan pola, preferensi, status dan perbedaan-perbedaan tertentu”.
Dalam memulai ibdah haji, manusia harus terlebih dulu mencopot “pakaian” kebesarnya, dengan diganti pakain “ihram” yang sederhana, yang menjadi sombol persamaan dan kebersamaan, karena tidak membedakan status sosial kita; antara si kaya dan si miskin, dan antara penguasa dan rakyat biasa. Dengan mengenakan pakaian “ihram” yang menjadi simbol persamaan dan kebersamaan para jamaah haji menjadi miniatur sejati hakikat persatuan ummat manusia. Bahkan, dengan thawaf mengelilingi Ka’bah, jama’ah haji menyimbolisasikan dan sekaligus merepresentasikan universalitas kemanusian yang satu dan sama. Ka’bah, yang dikelilingi jamaah haji, secara simbolis menjadi simbol pusat agama. Ka’bah ibarat pusat lingkaran, yang secara imajiner, seandainya kita naik keatas dan melihat kebawah, maka akan kelihatan lingkaran-lingkaran, yakni lingkaran jaamah haji yang sembahyang menghadap Ka’bah, ke mekkah, karena bumi ini adalah bulat. Ibaratnya, semakin dekat dengan Ka’bah, dengan pusat lingkaran, maka kita akan bersatu. Thawaf mengelilingi Ka’bah menjadi simbol persatuan ummat manusia itu sendiri, dan sekaligus melambangkan persamaan hamba Allah kehadirat-Nya. Yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lain, hanyalah tingkat ketakwaannya kepada Allah SWT (Q.S, 49:13).
Manusia dan Filosofi Simbolik Ibadah Haji
Salah satu bukti yang jelas tentang keterkaitan ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusiaan antara lain adalah adanya ajaran tentang persamaan hak, keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi maupun bidang-bidang lain. Makna kemanusiaan itu mencakup seperangkat nilai-nilai luhur yang seharusnya menghiasi jiwa pemiliknya. Ia bermula dari kesadaran akan jatidiri (fithrah) serta keharusannya menyesuaikannya diri dengan tujuan kehadiran di pentas bumi ini. Kemanusiaan menjadikan makhluk ini memiliki moral serta berkemampuan memimpin makhluk-makhluk lain dalam mencapai tujuan penciptaan. Kemanusiaan mengantarkannya untuk menyadari bahwa ia adalah makhluk yang harus bertanggung jawab menjadi pemimpin. Kemanusiaan mengatarkannya untuk sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian dan harus bertenggangrasa dalam berinteraksi. Dalam khutbah haji Wada’ Nabi menekankan akan pentingnya makna persamaan, keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain, larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah, baik dalam bidang ekonomi maupun bidang-bidang lainnya. Pandangan Nabi di atas telah menjadi bukti sejarah bahwa ada keterkaitan erat antara ibadah haji dengan nilai-nilai kemanusian universal. Terdapat seperangkat aktivitas simbolik tentang perjalanan umat manusia menuju tingkat ketakwaan sejati. Haji juga merupakan upaya pengejawantahan kesetaraan baik dalam persepsi teologis maupun sosiologis. Semua manusia bergerak seirama dan senada dalam posisi kemanusian yang sama. Tiada yang mulia maupun yang hina, karena yang ada hanyalah dua eksistensi, Tuhan dan manusia yang menyatu dalam sebuah momen ritual yang unik. Namun sayangnya, tradisi masyarakat yang sangat berlebihan dalam memuliakan para haji telah merubah substansi makna dan tujuan awalnya. Selain pesan abadi rasulullah saat berhaji wada’ (haji terakhir Nabi), Rasul juga berpesan kepada ummat manusia agar bisa memelihara jiwa, harta, dan kehormatan sesama manusia (al-madina; al-amwal wa al-a’radl; life, property and honor). Tiga pesan inilah, yakni prinsip kesucian hidup, harta, dan kehormatan manusia, ternyata ikut serta memengaruhi pikiran dan perilaku seluruh ummat manusia. (Zainuddin;11/11/2013)
Pada perkembangannya, Giovani memang dialienasikan masyarakat karena paham kemanusiaannya itu. Tapi, rintisan pikirannya telah menyebar ke seluruh Eropa dan menjadi bagian dari mainstream yang begitu hangat diperdebatkan. Sangat mungkin sekali, trilogi prinsip Rasul “al-dima; al-amwal wa al-a’radl,” telah menetes dan mengilhami para tokoh kemanusiaan, seperti John Locke melalui slogannya: life, liberty and property, dan juga merembes ke Thomas Jefferson yang terkenal dengan slogan: life, liberty, and pursuit of hsppiness. Oleh karena komitmen pada nilai-nilai kemanusiaan secara universal, maka inilah hakikat sejati haji. Yakni, haji sebagai pengalaman, dan sekaligus sebagai penghayatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara universal. Itulah sebabnya, pemikir Islam, Iran, Ali Syari’ati berfatwa, “Wahai Haji, … Setiap hari adalah hari pengorbanan, setiap bulan adalah bulan dzulhijjah, dan setiap negeri adalah Mina, …serta di setiap saat di dalam hidupmu, engkau adalah Haji.”
Jangan sampai Ibdah haji tak meninggalkan nilai apa-apa kecuali sekedar bertambahnya gengsi dan status sosial atau barangkali sekedar pengayaan, pengalaman dan kenikmatan spritual, jika di jalankan tanpa proses penyadaran, internalisasi, dan aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan universal yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam sederetan ritus prosesi haji. ***