banner 728x90
Opini  

Bumi Fagogoru; Kemerdekaan yang Tergadai

Harun Gafur Oke
Oleh: Harun Gafur (Pegiat Literasi TERAS SAGU)
banner 120x600

NEGARA, bahkan pemerintah provinsi Maluku Utara seakan lupa, dan terkesan menutup mata hati persoalan penegakkan hukum dan hak asasi manusia di Bumi Fagogoru yang tergadai akan harga diri kemanusiaan, dari peristiwa ke peristiwa teror dan pembunuhan yang terjadi, dan bahkan selalu diperbincangkan dikalangan aktivis, LSM, dan Komunitas, serta dikalangan para ahli hukum yang enta kemana? dan hanya menjadi angin lalu bagi kalangan legislatif bahkan eksekutif disetiap momen peristiwa kemanusiaan. Namun tujuan untuk mencari suatu konsep ideal, tentang negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia di negeri ini masih diselimuti oleh kabut, bahkan bertahun-tahun lamanya konsep negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia yang dianggap ideal tersebut, selalu menjadi perdebatan, negosiasi dan akhirnyapun sampai saat ini tak tuntas dimeja keadilan dan peradilan. Terlebih-lebih selama ini ada kesan bahwa pemahaman terhadap hak asasi manusia sering dimaknai secara dangkal karena hanya dianggap sebagai pedoman moral sosial semata. Pemahaman yang demikian merupakan pemahaman yang keliru, pemahamannya bukan hanya pada tatanan moral sosial tetapi juga pada tatanan hukum dan keadilan sebagai mahluk tuhan. Kenyataan menunjukkan akibat pemahaman yang dangkal tersebut terhadap hak asasi manusia, penghormatan dan penegakan terhadap hak asasi sering tidak dilaksanakan secara tepat sebagaimana yang dicita-citakan oleh negara hukum, dan amanat dari tuhan.

Menurut hemat penulis Institusi, lembaga dan sistem peradilan di Indonesia pada umumnya dan khusunya wilayah Maluku Utara belum mampu menjamin hak warga negara dalam memperoleh keadilan, khususnya kelompok petani, buru, nelayan, miskin desa, minoritas, dan marjinal. Hal ini sayangnya diperparah oleh minimnya dukungan pemerintah terhadap penyediaan bantuan hukum bagi mereka yang lemah. Alokasi anggaran bagi bantuan hukum dan jangkauan pelayanan organisasi bantuan hukum (OBH) serta paralegal komunitas sebagai ujung tombak pelaksanaan kebijakan tersebut di tingkat lokal masih terbatas. Infrastruktur kelembagaan serta kebijakan di tingkat kabupaten/kota juga tidak merata dan praktik korupsi yang terjadi di pengadilan masih marak terjadi.

Tak hanya itu, dalam penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu masih lemah. Negara (pemerintah) hingga kini belum mampu memenuhi hak para korban tindak kekerasan dan pelanggaran HAM, seperti hak mengetahui kebenaran, hak atas keadilan, dan hak atas pemulihan. Berbagai upaya pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan mewujudkan keadilan bagi para korban hingga kini tak kunjung membuahkan hasil. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut dan mewujudkan penegakan hukum dan reformasi sistem peradilan di Tanah Air, begitu juga dengan aktivis dan beberapa LSM yang bergerak dibidang pendampingan hukum dan peneggakkan kedialan berupaya keras untuk memfokuskan kerja-kerjanya pada upaya peningkatan akses terhadap keadilan dan perwujudan keadilan transisi melalui pendampingan kelompok-kelompokKemerdekaan korban agar bisa berpartisipasi dengan baik dalam proses pencarian kebenaran dan rekonsialisasi demi terwujudnya penyelesaian pelanggaran HAM yang dimpikan oleh semua kalangan.

Bumi Fagogoru; Kemerdekaan Yang Tergadai

Perdebatan mengenai keadilan dan kepastian hukum yang tergadai dalam praktik penegakan hukum di Indonesia tampaknya masih akan berlangsung dan masih akan berputar pada pusaran yang sama. Setelah beberapa waktu lalu kasus pembunuhan yang terjadi terhadap korban Kiki Kumala, dalam keterangan pers Kabid Humas Polda Maluku Utara, AKBP Hendry Badar, (https://beritamalut.co/2019/09/20) dalam keterangan persnya di ruangan Humas Mapolda Malut, mengatakan, bahwa kronologis kejadian pada Selasa 16 Juli 2019, sekitar pukul 08.00 WIT.  Kemudian terjadi lagi pembunuhan di hutan belantara kali Waci, akhir Maret 2019 lalu yang menewaskan tiga Warga Waci. Belum lagi pembunuhan tiga warga Patani, di Kali Gowenly, Peniti Kecamatan Patani Timur, Sabtu (20/10). hingga kini belum mampu diungkap siapa pelakunya, dari deretan kasus pembunuhan, ini bukan kali pertama yang terjadi di Halteng. Tahun 2006 ada satu kasus pembunuhan di Weda. Tahun 2012,  11 warga Dotte Kecamatan Weda Timur, dan 2021 kasus pembunuhan di Patani. Semuanya pelaku belum satupun berhasil diungkap, (https://halmaheraraya.id/polisi-dinilai-gagal-ungkap-pelaku-pembunuhan-di-hutan-halmahera/). Hari ini (Sabtu, 04/05/2024) terjadi kembali teror dan perencanaan pembunuhan di kebun warga Desa Moreala Halmahera Tengah yang diduga aksi teror menggunakan ranjau yang mengakibatkan korban (Abdurahman Usman; 58), warga moreala terkena ranjau di paha bagian kirinya, tentunya ini fakta bukan rekaya berlaka, (mtk).

Dalam beberapa kasus di atas terlihat jelas sama kasusnya sehingga sudah sepantasnya pelaku atupun otak dibalik peristiwa ini sudah seharusnya di jerat pasal 340 KUHP, dan pasal 338 KUHP jika ditemukan. Olehnya itu keputusan hakim yang nanti memberikan kepastian terhadap penegakan hukum, harus sejalan sekaligus menghadirkan rasa keadilan pada masyarakat. Pada putusan tersebut, para penegak hukum terutama hakim, jangan sampai terkesan lebih mengutamakan hanya pada penegakan hukum berdasarkan hukum positif yang berlaku (legalistic-positivistic) dibandingkan dengan penegakan keadilan dalam memutus perselisihan. Rasa keadilan hakim bisa jadi berbeda dengan rasa keadilan pencari keadilan atau pihak yang berperkara. Oleh karena itu salah satu tugas pokok hakim sebagai pemutus perkara, harus dapat menggali nilai-nilai keadilan yang berlaku di masyarakat (rasa keadilan kolektif) untuk kemudian berani menjadikannya sebagai acuan utama di dalam memutuskan suatu perkara. Menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup di tengah masyarakat ini merupakan kewajiban yang diamanatkan oleh Pasal 5 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bagi setiap hakim yang memeriksa perkara.

Narasi ini intinya kembali mengetuk akal sehat kita semua sebagai manusia yang manusiawi sehingga tidak lupa diri terhadap penegakan keadilan dan kepastian hukum di negeri ini, sehingga tidak terkesan hukum dan jaminan kemerdekaan kemanusiaan para korban telah tergadai. Dari pembahasan ini diharapkan dapat diperoleh jawaban bagaimana penegakan hukum seharusnya dilakukan agar hukum tersebut dapat memberikan selain kepastian hukum namun juga rasa keadilan yang tidak boleh tergadai oleh apapun dan siapapun. Narasi ini tentunya tidak hanya menjadi bahan diskusi tetapi bagaimana hukum harus ditegakkan namun juga bagaimana seharusnya penyelenggara negara dalam membangun hukum itu sendiri sebagai sebuah hasil dari kebijakan politik yang merdeka secara kemanusiaan yang adil dan beradab. Akhir kata walaupun hukum mungkin tidak bisa membahagiakan semua orang, namun setidaknya hukum harus bisa menjadi pedoman bagi masyarakat untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dilandasi dengan nilai keadilan dan kepastian hukum, bagi manusia yang ingin merderka atau mati. ***