banner 728x90

Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Borobudur Bamsoet, Nilai Pembentukan Badan Penerimaan Negara Perlu Pendekatan Omnibus Law Agar Lebih Cepat dan Terintegrasi

Screenshot 2025 03 16 19 25 34 65 6012fa4d4ddec268fc5c7112cbb265e7
banner 120x600

JAKARTA|Wartamerdwka.com – Anggota DPR RI sekaligus Dosen Pascasarjana Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur Bambang Soesatyo menuturkan urgensi pembaharuan hukum dalam upaya penataan kelembagaan pendapatan negara yang terpusat adalah pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Rencana pembentukan BPN merupakan salah satu program prioritas dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029 yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada tanggal 10 Februari 2025.

Namun, untuk mewujudkan BPN sebagai lembaga terpusat yang mengelola seluruh penerimaan negara tidaklah mudah, karena memerlukan revisi setidaknya 11 undang-undang. Terutama di bidang perpajakan, kepabeanan, cukai, PNBP, serta tata kelola keuangan negara.

“Pendekatan Omnibus Law dapat digunakan untuk merevisi berbagai UU sekaligus dalam satu regulasi agar lebih cepat dan terintegrasi. Ini bisa berbentuk RUU Konsolidasi Penerimaan Negara yang mengintegrasikan seluruh aturan perpajakan, kepabeanan, cukai, dan PNBP ke dalam satu sistem terpadu di bawah BPN. Pendekatan Omnibus Law sangat relevan untuk menyederhanakan proses legislasi dan memastikan harmonisasi kebijakan fiskal di Indonesia,” ujar Bamsoet saat mengajar mata kuliah ‘Pembaharuan Hukum Nasional’, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur di Jakarta, Sabtu (15/3/25).

Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini memaparkan, BPN dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara, baik dari sektor pajak maupun non-pajak. Tujuannya memperkuat fondasi fiskal Indonesia dan mendukung pembangunan ekonomi jangka panjang yang meliputi reformasi administrasi, perencanaan dan penyempurnaan proses bisnis, serta internalisasi tata kelola atau sistem baru untuk efektivitas administrasi dan kelembagaan.

Rendahnya pendapatan negara di Indonesia saat ini disebabkan masih adanya kesenjangan mencakup aspek administrasi maupun kebijakan yang memerlukan transformasi tata kelola kelembagaan sebagai enabler untuk optimalisasi pendapatan negara. Di sinilah letak urgensitas pembentukan BPN sebagai langkah strategis dalam meningkatkan kapasitas ruang fiskal pemerintah yang memadai agar memberikan stimulus terhadap
perekonomian nasional serta menciptakan landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

“Dukungan terhadap pembentukan BPN tidak hanya penting dari sisi ekonomi, tetapi juga sebagai upaya untuk mewujudkan tata kelola kelembagaan yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, BPN dapat menjadi pilar utama dalam upaya meningkatkan rasio penerimaan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ke 23 persen,” tutur Bamsoet.

Ketua Komisi III DPR RI ke-7 dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menjelaskan, salah satu alasan utama pembentukan BPN adalah untuk meningkatkan PDB. Data menunjukkan bahwa rasio penerimaan perpajakan Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2024, rasio tersebut hanya mencapai 10,07% dari PDB, lebih rendah dibandingkan dengan 10,31% pada tahun 2023. Penurunan ini menunjukkan perlunya reformasi struktural untuk meningkatkan kapasitas fiskal negara.

Dengan target BPN meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap PDB menjadi 23%, Indonesia akan memiliki ruang fiskal yang lebih besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program-program kesejahteraan sosial. Peningkatan rasio ini juga akan mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri yang saat ini mencapai 38,6% dari PDB pada tahun 2023.

“BPN dapat menjadi solusi untuk mengoptimalkan penerimaan negara, baik melalui peningkatan kepatuhan pajak maupun efisiensi pengelolaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Semisal, pada tahun 2023, potensi PNBP dari sektor sumber daya alam (SDA) seperti migas, mineral, dan kehutanan belum sepenuhnya tergarap optimal. Padahal, sektor-sektor ini memiliki potensi kontribusi besar bagi penerimaan negara jika dikelola dengan baik,” kata Bamsoet.

Dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan ini menguraikan, pembentukan BPN juga sejalan dengan upaya transformasi tata kelola kelembagaan yang lebih efisien dan terintegrasi. Saat ini, pengelolaan penerimaan negara masih terfokus pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta kementerian/lembaga pengelola PNBP. Kondisi ini seringkali menyebabkan tumpang tindih wewenang dan inefisiensi.

“Dengan membentuk BPN, pemerintah dapat mengonsolidasikan seluruh fungsi penerimaan negara di bawah satu payung kelembagaan. Contoh sukses dari negara lain adalah Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS), yang berhasil meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi pengelolaan penerimaan negara melalui sistem yang terintegrasi dan berbasis teknologi,” jelas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia dan Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, pembentukan BPN juga untuk melindungi hak-hak wajib pajak. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan. Pada tahun 2023, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah, dengan hanya 16 juta wajib pajak yang aktif melaporkan SPT dari total potensi 60 juta wajib pajak.

“BPN dapat mengadopsi praktik terbaik dari negara lain, seperti sistem self-assessment yang transparan dan berbasis teknologi. Contohnya, di Estonia, sistem perpajakan yang sederhana dan transparan telah berhasil meningkatkan kepatuhan pajak hingga 85%. Dengan menerapkan sistem serupa, BPN dapat mendorong partisipasi aktif wajib pajak sekaligus melindungi hak-hak mereka,” pungkas Bamsoet. (*)

(Budiarto)                                                        Editor.Manwen.Wmc