banner 728x90

Pernah Jadi HRD, Senator Terpilih Lia Istifhama Malah Singgung Nasib Karyawan Kontrak Di Tengah Viral Tapera

Img 20240601 Wa0153
banner 120x600

 

Warta merdeka com||Viral, polemik atas penetapan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih saja bergulir, seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2024 yang mewajibkan pekerja swasta membayar iuran dari gaji atau upah mereka untuk Tapera. Dimana terdapat besaran yang ditanggung oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%. Tak ayal, banyak pihak pun turut berkomentar, tak terkecuali aktivis perempuan ning Lia Istifhama.

Unik dan beda dengan lainnya, pemilik paras cantik yang kini terpilih sebagai senator dengan raihan suara terbanyak nasional kategori perempuan nasional tersebut, justru menyinggung nasib karyawan kontrak.

“Setiap kebijakan pasti ada manfaatnya, termasuk Tapera. Namun penerapannya mungkin perlu dilakukan analisis mendalam lagi terkait aspek sosial. Diantaranya adalah banyak karyawan swasta bergaji UMR yang sangat mepet dengan kebutuhan keluarga. Selain itu, mayoritas karyawan swasta adalah karyawan kontrak dengan fakta mudah kena PHK sepihak.”

Statement anggota DPD RI Terpilih asal Jatim itu ternyata tak lepas dari masa lalunya yang pernah bekerja sebagai staf HRD (Human Resource Development). Ia pun secara gamblang menganalogikan pencairan Tapera dengan BPJS Ketenagkerjaan.

“Saya pernah menjadi staf HRD jadi paham sekali curhatan karyawan selama bekerja di bawah kontrak yang mana sangat rentan diputus sepihak. Selain itu, tidak semua karyawan kontrak memiliki kapabilitas untuk memahami apa saja hak-nya. Contoh terkait pencairan BPJS, tidak semua paham secara baik dokumen apa saja yang harus mereka simpan secara baik agar bisa dicairkan sesuai tenggat waktu.”

“Jadi ini tentang tingkat SDM. Dan itu lumrah di lapangan. Belum lagi jika ia berasal dari wilayah jauh, maka rentan kehilangan dokumen, seperti referensi kerja asli yang dibutuhkan untuk pencairan BPJS. Jadi hal-hal seperti ini sering terjadi sehingga menuntut karyawan harus bolak-balik ke perusahaan lamanya agar bisa memenuhi syarat pencairan. Nah, bisa dibayangkan jika HRD-nya sudah ganti dan tidak kooperatif?”

Persoalan tersebut-lah yang dimaksud politisi ayu itu sebagai hal teknis yang harus diketahui oleh pemerintah atas penetapan Tapera yang menurutnya akan memiliki kesamaan dengan pencairan BPJS.

Selain itu, Doktoral UINSA itu juga menekankan potensi mudahnya PHK yang dialami karyawan kontrak.

“Kebetulan saya belasan tahun malang melintang di dunia karyawan swasta, jadi banyak sekali fakta-fakta memprihatinkan yang dialami karyawan swasta. Diantaranya adalah mudah diputus kerja dengan berbagai alasan pelanggaran. Nah, ketika itu dialami karyawan dari daerah terpencil misalnya, lantas bekerja hanya dua atau tiga bulan, kemudian dipersulit untuk mendapatkan referensi kerja, maka yang ada pasti mengikhlaskan hak pencairan BPJS.”

“Jadi maksud saya, sangat penting deep analysis skema pencairan Tapera kelak, sekaligus BPJS. Karena rentan terjadi banyak kendala di internal perusahaan. Apalagi terkadang petugas BPJS melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada perusahaan jika ada tenaga kerja melakukan pencairan. Sekali lagi, jika staf HRD tidak kooperatif karena unsur subyektif, maka resiko hak karyawan akan sulit dicairkan.”

“Nah, jika TAPERA ini berlaku utuh dan merata termasuk pada semua karyawan kontrak, maka langkah solutifnya adalah skema perlindungan agar karyawan yang sudah dipotongkan iuran, tidak akan kehilangan hak sekalipun ada masalah internal di lingkungan kerjanya.”

Lebih detail, ning Lia pun berharap terbukanya harapan bagi karyawan swasta untuk menjadi karyawan tetap.

“Harus diakui, mayoritas kan kontrak semua. Ini harus jadi atensi, alasannya? Apa karena tidak mampu membayar pesangon? Jika begitu, maka perusahaan penting sekali diajak berdialog untuk lebih memikirkan skema peningkatan kesejahteraan karyawannya. Apa benar perusahaan tersebut tidak sehat sehingga selalu memakai skema karyawan kontrak atau sebenarnya mampu tapi terbebani banyak iuran?,” tegasnya.

“Oleh sebab itu, jangan sampai penambahan potongan TAPERA yang sekaligus menjadi bertambahnya operational cost per-1 tenaga kerja, justru menjadi senjata perusahaan untuk terus ‘nyaman’ dengan sistem kerja kontrak.”

Secara detail, ning Lia pun mencoba merinci nominal dari pemotongan gaji karyawan swasta selama ini.

“Kita coba contohkan Jatim ya, dimana atas upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp 2.165.244. Maka dari angka itu, ketika ditetapkan pemotongan iuran TAPERA dan BPJS yang sudah berlangsung selama ini, maka karyawan akan dibebankan iuran total Rp. 75.783., sehingga take home pay (THP) karyawan menjadi Rp. 2.089.461. sedangkan iuran yang dibayar perusahaan sebesar Rp. 220.856.”

“Kemudian jika kita coba hitung pada UMR terbesar di Jatim, yaitu Surabaya senilai Rp 4.725.479. Maka karyawan dibebankan total potongan 3,5 % menjadi Rp. 165.392, sehingga THP Rp. 4.560.087. Sedangkan perusahaan membayar total iuran 10,2 %, yaitu senilai Rp. 481.999,” jelasnya secara rinci.

Perhitungan yang dijelaskan oleh ning Lia, sesuai skema yang selama ini berlangsung. Bahwa iuran tarif BPJS Kesehatan adalah 5% dari upah/gaji, dengan rincian perusahaan menanggung 4% dan karyawan atau tenaga kerja (TK) membayar 1% dari upah/gaji. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan, iuran perusahaan 3,7%, iuran TK 2%. Dan TAPERA yang akan diberlakukan, sebesar 0,5% pada perusahaan dan pekerja sebesar 2,5%.

“Dengan melihat skema rinci, maka kita bisa mengukur detail kemampuan seorang tenaga kerja mengelola gaji THP-nya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena pada faktanya, mayoritas orang tua saat ini adalah pasangan suami istri yang sama-sama bekerja dengan gaji sebatas UMR. Bahkan tak sedikit yang memiliki side job,” jelasnya.

Di akhir, sekalipun memberikan pandangan kritis, ning Lia tetap mengapresiasi langkah pemerintah untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan primer, yaitu kebutuhan papan (rumah) bagi karyawan.

“Saya kira semua sepaham, bahwa Tapera memiliki nilai kemanfaatan, seperti kemudahan pinjaman dan bagi hasil pengembangan. Namun, saya sangat berharap pada pemerintah untuk mengkaji ulang skema penerapan, jadi bukan berarti penolakan. Sebagai contoh, mungkin lebih baik TAPERA diujicobakan dulu kepada karyawan dengan gaji jauh diatas UMR per bulannya. Syukur-syukur khusus yang sudah berstatus karyawan tetap sehingga pengelolaan mudah.”(wmc/gtt)