Belum lama ini, putri Ridwan Kamil, Camillia Laetitia Azzahra menghebohkan jagat maya sentora publik yang akrab disapa Zara, yang mengambil langkah dan memutuskan untuk melepas kerudungnya. Informasi dan Pemberitaan tersebut diumumkan melalui akun media social pribandinya sendiri.
Dari unggahan media sosial Zara sapaanya; Banyak warganet yang menyayangkan keputusannya itu. Selain telah jelas melanggar syariat Islam sebagai kaum muslimah, Zara pun merupakan figur publik yang sosoknya bisa saja dicontoh banyak kawula muda.
Dalam unggahan diakun media sosialnya terlihat serius Zara menyapa netizen dengan kalimat “Hai semuanya, setelah banyak pertimbangan dan diskusi yang amat sangat panjang dengan keluarga aku, aku memutuskan untuk melepas kerudungku. Karena bagi aku, secara personal, seorang muslim yang baik adalah mereka yang melakukan syariat ajaran agama dari hati. Bukan soal penampilan tapi soal hati yang bersih,” tulisnya. kutipan dari Muslimah News, (Kanti Rahmillah, 2024).
Saat ini fenomena buka-tutup hijab memang tengah menggejala di kalangan remaja sebagai trend atau apala itu..?, Pemberitaan figur publik melepas hijabnya dan meminta agar publik menghormati keputusannya pun berseliweran di media sosial. Mengapa fenomena ini bisa terjadi dan bagaimana pandangan Islam terkait yang demikian?
Hijab; trend mode dan syariat Islam
Trend buka-tutup hijab di kalangan remaja bahkn dewasa menjadi perhatian dan sorotan banyak kalangan, terlebih setelah banyak dari meraka figur publik yang melakukan hal demikian. Bukan tidak mungkin para pengikutnya akan melakukan hal yang sama. Setidaknya disinilah munculnya beberapa faktor yang memicu makin maraknya pemudi dikalangan kaum perempuan melepas kerudung atau hijabnya.
Dari beberapa alasan itulah munculnya trend buka-tutup hijab; Pertama, fenomena FOMO (fearing of missing out) atau sering kita sebut takut ketinggalan trend, menjadi salah satu faktor banyaknya para remaja yang mudah untuk melepas kerudungnya. Fenomena FOMO mengungkap betapa orang-orang, khususnya remaja, merasa cemas dan gelisah jika tidak mengikuti atau melakukan hal-hal yang sedang trend.
Misalnya, trend makanan Bluder Cokro, Mi nyamek, menjadikan muda-mudi merasa cemas jika tidak memburunya. Begitu pun dengan mode atau tren apa pun yang sedang viral, seperti joget di TikTok atau dance cover K-Pop. Banyak para remaja yang merasa harus melakukannya sehingga jika kerudung menghambat kebebasan berekspresinya, mereka tidak segan-segan untuk membukanya. Perasaan gelisah, tidak puas, menganggap dirinya tidak keren, dan tidak gaul, yang muncul hanya karena tidak mengikuti tren, dianggap sangat mengganggu psikisnya. Daripada stres, mereka merasa lebih baik bebas melakukan apa pun demi mencapai kebahagiaan versi mereka. Tentu saja fenomena ini berbahaya, bahkan mendapatkan pandangan serius dari segi medis. (Kanti Rahmillah; 2024).
Kedua, di zaman melenial saat ini, makna penggunaan kerudung telah bergeser dari syariat. Dari yang sesungguhnya asalnya sebagai penutup aurat dalam syariat Islam, kini menjadi sekedar mode atau trend di tengah kawula muda dan kalangan masyarakat. Tren mode kerudung yang beraneka ragam dan penggunaannya yang juga bisa dipadupadankan dengan pakaian lain yang trend, menjadikan kerudung sebagai simbol aksesori sekadar agar terlihat modis. Trend “jilboobs”, misalnya, istilah untuk outfit muslimah yang berkerudung, tetapi pakaiannya sangat ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Dari situ, kita bisa memahami bahwa para kaum perempuan hari ini banyak yang tidak memahami dengan utuh dan bahkan sengaja mengabaikan fungsi dan peran kerudung atau jilbab. Mereka menutup kepalanya lebih karena trend dan sebagai penutup kepala dikala matahari sedang panasnya. Jika mereka paham, tentu akan menutup seluruh auratnya dengan sempurna, tidak terpengaruh trend yang justru memalingkannya dari syariat. Itulah sebabnya muda-mudi (kaum perempuan) mudah sekali melepas kerudungnya. Bagi mereka, melepas kerudung atau jilbab seperti sedang melepas salah satu aksesori semata.
Fenomena Sekularisme-Liberalisme
Fenomena fearing of missing out dan kerudung sekadar mode yang memengaruhi tren buka-tutup hijab ini tidak terlepas dari pengaruh sekularisme dan liberalisme, yaitu sistem kehidupan atau doktrin yang menolak campur tangan nilai-nilai keagamaan dalam urusan manusia, singkatnya urusan manusia harus bebas dari agama atau dengan kata lain agama tidak boleh meng intervensi urusan manusia. Parahnya lagi masyarakat, terutama remaja, juga belum memahami hakikat kehidupan. Tujuan hidup yang sesungguhnya dan standar kebahagiaan, sehingga tampak begitu abstrak bagi mereka.
Dampak sekularisme, dan minimnya pemahaman akan hakikat hidup dalam pandangan agama kaum muslim terjebak dengan pemahaman atau ajaran bahwa tujuan hidup manusia hanyalah materi dan makna kebahagiaannya hanyalah kepuasan jasadi. Mereka tidak mengenal bahwa agama adalah tuntunan hidup, jalan bagi orang-orang yang beruntung. Alhasil, dalam bertingkah laku, mereka tidak mengenal aturan agama.
Kehidupan sekuler pun begitu sistematis diterapkan dalam setiap inci kehidupan. Mulai dari keluarga, lingkungan, masyarakat, hingga negara. Lihatlah betapa para orang tua tidak bisa berkutik saat anaknya ingin melepas kerudungnya. Bahkan, mereka “menghormati” keputusan anaknya dengan alasan sebagai bentuk proses pencarian jati diri. Sedangkan sejatinya, ia sedang membiarkan anaknya masuk jurang api neraka. Begitu pun lingkungan dan masyarakat. Tidak sedikit muslimah yang hidup di Barat yang terpengaruh kehidupan sekuler yang memang begitu kental. Alhasil, ia merasa harus melepas kerudung agar bisa diterima oleh masyarakat di sana. Keimanan yang lemah dan ketakwaan “setipis tisu” menjadikan mereka mudah mengikuti kebiasaan masyarakat Barat meskipun harus bertentangan dengan syariat. (Kanti Rahmillah, 2024).
Oleh karenanya, sekularisme adalah hal yang paling bertentangan dengan pandangan syariat Islam. Bukan hanya kerudung yang dilepas, pergaulan bebas hingga kejahatan akan kian marak dalam sistem kehidupan sekuler yang mendewakan kebebasan tanpa etika agama dan kemanusiaan. Meninggalkan budaya dan pengaruh sistem sekularisme-liberalisme, serta beralih pada budaya dan syariat Islam adalah sesuatu yang harus segera dilakukan.
Syariat dalam kehidupan Islam
Islam sebagai the way of life merupakan ajaran yang memberikan petunjuk, arah dan aturan-aturan (syariat) pada semua aspek kehidupan manusia guna memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat. Pertama, sistem kehidupan Islam menempatkan keluarga sebagai entitas utama dan pertama dalam pembentukan akidah seseorang. Keluarga Islam akan menjadikan seorang ibu berperan optimal sebagai madrasatul ‘ula bagi anak-anak mereka.
Seorang ibu dan ayah akan gigih membentuk akidah pada anak-anak mereka sedari dini agar kelak mereka siap menyelesaikan segala permasalahan. Ayah dan ibu tidak akan pernah membiarkan anak-anak mereka melakukan kemaksiatan, termasuk melepas kerudungnya. Masa remaja yang digadang-gadang sebagai “proses pencarian jati diri” sejatinya hanyalah kamuflase pemikiran Barat yang mendewakan kebebasan. Sedangkan dalam Islam, penancapan akidah sedari kecil akan bisa menyelesaikan persoalan galaunya mereka dengan kehidupan. Kelak saat mereka dewasa, mereka akan fokus pada menciptakan karya untuk kemaslahatan umat tanpa dipusingkan dengan “pencarian jati diri”, apalagi ala Barat.
Kedua, lingkungan atau masyarakat sebagai pilar dalam mewujudkan kehidupan Islam. Bagaimanapun, interaksi sangat memengaruhi preferensi perilaku seseorang. Kita akan bisa mendapati perilaku orang Barat yang serba bebas sangat berbeda dengan perilaku muslim yang senantiasa taat pada Allah Taala. Mulai dari tutur kata hingga perbuatannya senantiasa sesuai dengan ajaran agama. Inilah pentingnya hidup di lingkungan dan masyarakat islami agar keimanan dan ketakwaan individu dapat terjaga.
Ketiga, negara. Sistem pemerintahan menjadi pilar yang sangat penting dalam menghadirkan jawil-imani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seluruh kehidupan umat ada di bawah tanggung jawab negara. Salah satunya, negara akan menerapkan sistem pendidikan berdasarkan akidah Islam berbasis toleransi bagi semua ummat di dunia, sehingga anak-anak sedari dini sudah diberikan pemahaman akan hakikat dan tujuan hidup mereka.
Jika iman dan takwa yang teguh dalam jiwa dan sanubari sudah terbentuk dalam diri mereka, fenomena semacam “fearing of missing out” tidak akan terjadi dalam masyarakat muslim kaum perempuan. Trend dari Barat akan difilter oleh mereka, begitu pun hijab sebagai yang dijadikan sekadar tren mode. Masyarakat, juga para remajanya, akan paham bahwa menutup aurat secara benar adalah kewajiban, bukan mode semata. (Kanti Rahmillah, 2024).
Sangat jelas bahwa fenomena buka-tutup hijab di kalangan remaja merupakan buah dari penerapan kehidupan sekularisme. Fenomena yang problematik dan kontradiktif ini hanya bisa selesai tuntas dengan menghadirkan kehidupan syariat Islam dalam kehidupan keluarga, komunitas, bahkan bangsa dan Negara yang akan menjamin para remaja generasi penerus peradaban bangsa yang taat agama dan fokus berkarya untuk umat. ***