Korupsi merupakan persoalan global dan nasional di era kontemporer saat ini, yang dapat menimbulkan penderitaan rakyat dan kelumpuhan suatu Negara dalam bidang ekonomi yang berdampak pada semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan korupsi sudah sejak lama menjadi keprihatinan dunia internasional. Perhatian khusus dan intensif ditujukan pada permasalahan korupsi sejak tahun 1990-an didasari oleh kenyataan bahwa korupsi telah berkembang dan menjangkit dalam komunitas internasional (Budi Winarno, 2011:279). Pada siding umum PBB tanggal 16 Desember 1996 dideklarasikan upaya pemberantasan korupsi dalam dokumen United Nation Declaration Againts Coruuption and Bribery In International Commercial Transaction yang dipublikasikan melalui Resolusi PBB Nomor: a/Res/51/59 tanggal 28 Januari 1997.
Salah satu kesepakatan dalam deklarasi itu adalah untuk memerangi korupsi sehingga diperlukan kerja sama antar masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. selanjutnya, pada tahun 2003, PBB juga menetapkan konvensi melawan korupsi melalui United Nation Declaration Againts Corruption. Upaya perlawanan dunia Internasional kepada korupsi nyatanya belum mampu menghilangkan permasalahan korupsi di berbagai Negara. Indonesia merupakan salah satu diantara Negara yang masih berjuang melaksanakan pemberantasan korupsi. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Declaration of 8th International Conference Againts Corruption melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) namun tata kelolah pemerintahan di Indonesia nyatanya masih dipenuhi oleh korupsi. Sejak masa awal Indonesia merdeka sampai pada Era Reformasi bergulir, serangkaian upaya pemberantasan korupsi yang dimunculkan pemerintah seolah tidak berdaya mengahadapi penetrasi korupsi yang kian meluas. Sejarah membuktikan bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi acapkali mendapat tantangan maupun perlawanan dari banyak oknum, baik yang Nampak maupun yang terselubung. Akhirnya, lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk banyak berhenti ditengah jalan. Dari pengetahuan dan pengalaman yang diamati dinamika korupsi di Indonesia mulai dari level kecil (petty corruption), besar (grand corruption), hingga korupsi sistemik yang berlangsung di sektor pemerintah atau publik, perusahaan, maupun organisasi non-pemerintah. Bentuknya dapat berupa pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, penyuapan, penyogokan, tebang pilih, penyalahgunaan wewenang, kolusi, klientelisme, nepotisme, dan politik uang (Muhammad Nasrun, 2013:2).
Bila kejahatan korupsi itu tidak benar-benar menjadi musuh bersama (common enemy) maka bukan tidak mungkin tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara akan hancur. Untuk mengatasinya perlu suatu gerakan bersama pemberantasan korupsi yang melibatkan seluruh elemen bangsa termasuk keluarga dan masyarakat. Selain keikutsertaan dalam mewujudkan adanya organisasi masyarakat sipil yang melakukan perlawanan terhadap korupsi, gerakan bersama lain yang paling mungkin dilakukan keluarga dan masyarakat adalah penanaman nilai-nilai antikorupsi dilingkungan masing-masing. Selain dapat mendukung suksesi pendidikan antikorupsi yang dilakukan melalui jalur pendidikan, upaya pendidikan antikorupsi di keluarga dan masyarakat juga dapat mewujudkan tercapainya civil society yang berkontribusi untuk penciptaan pemerintahan yang baik (good governance) dan antikorupsi.
Paradigma dan Dinamika Korupsi di Indonesia
Berdasarkan defenisi secara umum, korupsi merujuk pada suatu kegiatan terlarang dan illegal demi keutungan pribadi atau kolektif (Azyumardy Azra, 2010:111). Arvin K Jain (2001:74) juga menyebutkan korupsi sebagai sebuah penyalahgunaan kekuasaan dalam jabatan public untuk keuntungan pribadi. Vito Tanzi (1998:54-55) menganggap bahwa memang definisi yang paling popular dan paling sederhana dari korupsi adalah bahwa hal itu adalah penyalahgunaan kekuasaan public untuk keutungan pribadi. Namun bukan berarti korupsi hanya dapat dilakukan disektor pemerintahan saja tetapi juga disektor swasta. Penyalahgunaan kekuasaan publik juga tidak selalu untuk keuntungan seorang pribadi tetapi untuk keuntungan komunitas, teman, keluarga, partai, kelas, suku, dan seterusnya. Meski semakin jelaslah bahwa korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang karena korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan “pintu masuk” bagi tindak korupsi (H.M. Arsyad Sanusi, 2009:83).
Praktik korupsi di Indonesia Nampak seperti sudah membudaya dan bukan semata dilakukan oleh strata atas dalam jajaran pemerintahan. Korupsi sudah menjadi fenomena yang lekat mulai dari level instansi tingkat kelurahan, kabupaten/kotamadya hingga tingkat provinsi. Institusi pendidikan, kesehatan dan bahkan keagamaanpun tak luput dari tudingan melakukan praktik korupsi (H.M. Arsyad Sanusi, 2009:90). Kondisi demikian tidak lepas dari suramnya perjalanan sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Sejak Era Orde Lama, Era Orde Baru, dan Pasca Orde Baru, serangkaian upaya pemberantasan korupsi yang dimunculkan pemerintah nampak normatif. Bahkan, di era pemerintahan Presiden Soeharto, kejahatan korupsi sangat parah terjadi. Sejarah membuktikan bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memberantas korupsi acapkali mendapat tantangan maupun perlawanan dari banyak oknum, baik yang Nampak maupun yang terselubung. Akhirnya, lembaga pemberantasan korupsi yang dibentuk banyak yang berhenti ditengah jalan.
Kalangan swasta merupakan kalangan yang paling banyak menjadi pelaku korupsi disusul Pejabat Eselon I/II/III diposisi kedua dan Anggota DPR dan DPRD diposisi ketiga. Itu menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya dapat dilakukan penyelenggara Negara semata namun juga anggota masyarakat pada umumnya. Hal ini merupakan pertanda bahwa upaya represif melalui penindakan yang dilakukan KPK saja tidak cukup untuk memberantas korupsi yang sudah menjalar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat namun juga perlu mengedepankan pembangunan masyarakat yang anti terhadap korupsi.
Katakan Stop Korupsi
Salah satu cara untuk mengatasi masalah korupsi di Indonesia adalah melalui penciptaan pemerintahan yang baik (Good Governance). Untuk menciptakan pemerintahan yang baik jelas membutuhkan partisipasi masyarakat sipil dan masyarakat secara keseluruhan. Keberadaannya bukan hanya diinisiasi oleh Negara namun keberadaan civil society. Pada upaya menciptakan pemerintahan yang baik (Good Governance), masyarakat perlu berpartisipasi secara aktif dalam mengontrol dan mengkritisi jalannya pemerintahan. Marajalelanya praktik arogansi kekuasaan dan KKN di Indonesia salah satunya disebabkan oleh sikap apatis masyarakat yang bersumber dari ketidaksadaran masyarakat tentang hak-hak mereka sebagai warga Negara dan bidang pelayanan publik serta birokrasi pemerintah (Azyumardy Azra, 2010:118).
Kesalahan pengetahuan, pemahaman, dan presepsi terhadap korupsi dapat menjerumuskan seseorang menjadi pelaku korupsi dan menyulitkan upaya pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi berbasis masyarakat harus dimulai dari pembenahan pengetahuan, persepsi, sikap dan kemudian perilaku setiap anggota masyarakat terhadap korupsi. Salah satunya adalah “Katakan Tidak pada Korupsi” Lazimnya, korupsi diperlakukan sebagai musuh bersama (comman enemy) yang harus dijauhi dan diperangi karena korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Strategi pemberantasan korupsi harus dibangun dengan adanya itikad kolektif berupa kemauan dan kesungguhan (willingness) dari semua pihak untuk bersama-sama tidak memberikan toleransi terhadap kejahatan korupsi (Faisal Santiago, 2014:56).
Guna mewujudkan manusia Indonesia yang adil dan beradab, maka gerakan pemberatasan korupsi bersama tidak akan cukup bila hanya mengandalkan pembelajaran di lembaga sekolah semata. Perlu gerakan bersama antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Keluarga dapat mempengaruhi individu dan berperan signifikan membangun budaya antikorupsi di dalam kehidupan masyarakat sekitarnya, sehingga keluarga yang anti korupsi menjadi sandaran, harapan, dan keinginan dari sistem sosial yang lebih besar. Kemudian fungsi identitas sosial yakni keluarga mempunyai fungsi untuk tetap mempertahankan nilai-nilai kebaikan, menegakkan norma, dan menjadi bagian dari proses enkulturasi. Enkulturasi merupakan proses kemasyarakatan yang bersifat lintas generasi dan memungkinkan manusia untuk menyampaikan dan belajar tentang kebudayaannya (Eko A. Meinarno, 2011:153).
Sudah saatnya kejahatan korupsi diperangi oleh seluruh lapisan masyarakat, bangsa dan Negara melalui gerakan antikorupsi bersama, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan penanaman nilai (inculacation approach), pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approach), pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan pendekatan pembelajaran berbuat atau bertindak (action learning approach).***