banner 728x90

Bumi Gamrange; Tanahnya dirampas, Manusianya dibunuh dan dipenjarah

Foto Harun Gafur Oke 2
banner 120x600

Gamrange pernah dikenal sebagai tanah yang damai dengan semboyan fagogoru (ngaku rasai, sopan re hormat, imtait re meimoi). Di sanalah kehidupan tumbuh dari kerja keras petani, nelayan, dan masyarakat adat yang menjaga alam seperti menjaga tubuh mereka sendiri. Tapi itu dulu sebelum investor datang dengan surat konsesi, sebelum aparat mengepung dengan senjata, dan sebelum negara memalingkan muka dari penderitaan rakyatnya.

Hari ini, Bumi Gamrange (Weda, Patani, Maba) berdarah dan dijarah. Tanah-tanah adat yang diwariskan turun-temurun tiba-tiba dinyatakan “milik negara” atau “lahan investasi strategis”. Tanpa persetujuan yang sah, tanpa musyawarah, tanpa penghormatan terhadap hak-hak warga, alat berat berdatangan, menumbangkan pepohonan, menggusur rumah, merobohkan kehidupan. Tanah yang dulunya sumber hidup, kini menjadi alat perampasan terselubung.

Mereka yang berani menolak dibungkam bahkan dibunuh dan dipenjarah. Tak sedikit warga yang bunuh, bahkan ditembak dalam konflik agraria yang dibingkai seolah-olah bentrok keamanan. Mereka bukan penjahat, mereka hanya mempertahankan ruang hidup mereka yang dirampas. Tapi narasi yang dibentuk selalu sama: rakyat dijadikan ancaman, sementara kepentingan modal dilindungi mati-matian.

Bagi yang masih hidup dan bersuara, penjara menanti. Aktivis, ibu rumah tangga, bahkan remaja yang hanya menyampaikan kritik dijerat dengan pasal karet, dikriminalisasi, dihukum. Hukum kehilangan nuraninya. Ia dipakai untuk menakut-nakuti, bukan untuk melindungi.

Pertanyaannya: sampai kapan kita membiarkan ini terjadi?

Negara mestinya berpihak pada rakyat. Pembangunan seharusnya berarti kehidupan yang lebih baik bagi semua, bukan hanya bagi segelintir elite dan korporasi. Tapi di Bumi Gamrange tempat hidup dan menghidupkan manusia tiga negeri bersaudara (weda, patani dan maba), pembangunan justru berubah menjadi proyek penindasan. Dan ketika keadilan tidak hadir lewat hukum, maka suara rakyat harus menjadi kekuatannya.

Bumi Gamrange bukan hanya soal suatu wilayah yang disebut Gamrange atas dasar gogoru yang sebut fagogoru. Ia cermin dari persoalan agraria di banyak penjuru negeri di maluku kie raha bahkan tanah papua. Selama tanah masih dipandang sebagai komoditas dan bukan sebagai ruang hidup rakyat, selama rakyat masih dianggap penghalang bagi keuntungan atas nama pembangunan, dan proyek strategi nasional, tragedi Gamrange dari penjara ke penjara akan terus berulang.

Ini saatnya kita bersolidaritas. Membela Bumi Gamrange bukan sekadar membela satu wilayah tetapi membela hak asasi manusia, membela tanah air, dan membela masa depan generasi yang dititipkan oleh para tetua di bumi Gamrange bahkan bumi Kie Raha.

Menagih Janji Kemerdekaan

Bumi Gamrange sedang digempur. Bukan oleh perang antarbangsa, bukan pula oleh bencana alam. Tapi oleh kebijakan negara sendiri yang menjelma menjadi mesin perampas hak atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN). Di atas kertas, PSN dijanjikan sebagai jalan menuju kemajuan: menciptakan lapangan kerja, membuka akses, dan menuju akses kesejahteraan. Namun di Bumi Gamrange, yang terjadi justru sebaliknya. Lahan-lahan produktif dikuasai tanpa persetujuan rakyat, ruang hidup dihancurkan, dan komunitas-komunitas adat dipaksa pergi dari tanah leluhurnya. Semua demi satu kata yang diulang-ulang tanpa pernah dipertanyakan: “pembangunan”. Apa arti pembangunan jika rakyat justru dikorbankan? Apa makna strategis jika yang dikesampingkan adalah kehidupan? Dan lebih jauh lagi, bagaimana mungkin negara yang katanya merdeka justru menindas rakyatnya sendiri?

Bumi Gamrange tidak anti pembangunan. Warga di sana tidak menolak kemajuan. Tapi mereka menolak dilangkahi, diabaikan, dan dikhianati. Mereka hanya meminta satu hal: didengar. Mereka hanya menuntut hak untuk hidup di tanah yang telah mereka jaga jauh sebelum negara ini lahir dengan kata merdeka. Janji kemerdekaan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 menyebutkan dengan lantang: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Tapi kenyataan hari ini sungguh bertolak belakang.

Di bumi Gamrange, warga harus melindungi diri dari negara yang seharusnya melindungi mereka. Kriminalisasi, intimidasi, bahkan kekerasan fisik menjadi jawaban atas protes warga. Aparat turun bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai alat represi. Sementara ruang hukum mengecil, dan suara rakyat disamakan dengan gangguan investasi.

Pertanyaannya sederhana: siapa sebenarnya yang berdaulat atas tanah ini? Rakyat, atau modal?

Sudah saatnya kita mengingatkan negara bahwa janji kemerdekaan bukan slogan kosong. Keadilan sosial bukan jargon kampanye. Ia harus diwujudkan, dimulai dari tanah, dari pengakuan terhadap hak rakyat kecil, dan dari kesediaan negara untuk tidak hanya membangun, tapi juga mendengarkan.

Bumi Gamrange berdiri sebagai saksi bahwa pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat hanya akan melahirkan luka. Maka dari itu, tuntutan warga Gamrange bukanlah bentuk perlawanan terhadap negara melainkan pengingat: bahwa rakyat belum lupa janji kemerdekaan, dan mereka akan terus menagihnya. Semoga bermanfaat.***

Penulis: Harun Gafur (Pegiat literasi TERAS SAGU Halmahera)Editor: Tim Redaksi