Sebulan sebelum kepergiannya, almarhumah Savitri sering berbaring di pangkuan suami. Dengan suara lembut ia bertanya,
“Pah, saya mau tanya… doa nasuha itu apa sih, Pah?”
Suami menjawab, bahwa doa nasuha adalah tekad untuk tidak mengulangi perbuatan yang tidak baik dan selalu berbuat kebaikan.
Ia lalu bertanya lagi, “Kalau caranya bagaimana, Pah?”
Suami menjawab, “Sehabis sholat, perbanyak istighfar. Mohon ampunan kepada Allah SWT.”
Suatu malam sekitar pukul 02.30, suami melihat ia sedang berpikir selesai sholat tahajud dan termenung sambil menangis setelah berzikir. Lalu ia berkata,
“Pah, aku ingat waktu kecil dulu, kalau disuruh ibu aku selalu bilang nanti… nanti…”
Seolah ada penyesalan yang ingin ia sampaikan pada Allah swt.
Kemudian ia bertanya dengan mata penuh harap,
“Pah… apakah istrimu ini sudah menjadi istri yang sholehah?”
Suami menjawab, “Sudah, Bu. Justru suami bersyukur kepada Allah SWT punya istri seperti dirimu.”
Namun pertanyaan itu ia ulangi hampir setiap hari,
“Pah, apakah aku sudah jadi istri yang sholehah?”
Dan jawaban suami tetap sama: bahwa bagiku, ia adalah istri terbaik yang Allah titipkan.
Ia juga berkata,
“Pah, kalau istrimu punya kesalahan, mohon dimaafkan ya.”
Suami pun menjawab, “Iya, Bu. Kalau suami punya salah, mohon dimaafkan juga.”
Lalu ia menegaskan dengan tenang,
“Kita sudah tidak punya salah kan, Pah… kita sudah saling memaafkan.”
Tiga hari sebelum ia pergi, ia berkata lagi,
“Pah, jangan jauh sama anak-anak kita ya…”
Suamipun menjawab, “Iya, Bu, pasti.”
Suami sempat bertanya, “Kenapa ibu ngomong begini terus?”
Ia hanya tersenyum dan berkata,
“Kan ibu sayang sama Papah.”
Tiga hari kemudian, Allah memanggilnya pulang di rumah sakit di Jakarta.
Ia pergi dengan membawa doa, zikir, dan pesan cinta untuk suami dan anak-anaknya.
Dari cerita ini terlihat betapa almarhumah Savitri adalah sosok yang penuh iman, cinta, dan persiapan untuk bertemu Allah. Pertanyaan-pertanyaannya bukan tanda takut, tapi tanda hati yang ingin tenang dan bersih saat pulang kepada-Nya.
Semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah almarhumah, mengampuni dosanya, dan menempatkannya di surga terbaik. Dan semoga Bapak serta keluarga selalu diberi kekuatan dan ketabahan.
Kisah Kepulangan Terakhir Almarhumah Istri ke Solo.
Di sebuah rumah sakit di Jakarta, almarhumah menghembuskan napas terakhirnya. Ruang jenazah menjadi saksi bisu duka yang tak terucap. Awalnya banyak teman dan kerabat datang menengok, membantu mengurus segala persiapan pemulangan jenazah menuju rumah di Jakarta Utara, sebelum nanti diberangkatkan ke Solo.
Namun, saat malam semakin larut dan satu per satu mereka berpamitan, tinggallah sang suami seorang diri menunggu di ruang jenazah. Dalam sepi yang menusuk, ia duduk dengan hati remuk, menemani jasad istrinya yang begitu ia cintai.
Tak lama kemudian datang seorang petugas penjaga jenazah, yang biasa dipanggil Pak Haji. Dengan suara lembut dan penuh hormat, ia meminta izin kepada sang suami:
“Pak, bolehkah saya membuka penutup wajah almarhumah?”
Dengan berat hati, sang suami mengangguk mengizinkan.
Saat kain penutup itu dibuka, Pak Haji menatap wajah almarhumah beberapa saat. Lalu ia berkata dengan nada yang menenangkan:
“Pak, Bapak harus bahagia…”
Sang suami, yang masih tenggelam dalam duka, menjawab lirih:
“Pak, saya sedang berduka. Istri saya baru saja meninggal.”
Pak Haji tersenyum penuh makna, lalu berkata:
“Pak, istri Bapak menghadap Allah SWT dalam keadaan ikhlas. Lihatlah wajahnya… ia tampak tersenyum dan begitu bersih. Apakah Bapak tidak melihatnya?”
Sang suami menatap kembali wajah istrinya. Air matanya mengalir, namun ia mengangguk:
“Iya, Pak Haji… almarhumah istri saya seperti tidak meninggal. Wajahnya tenang sekali.”
Kemudian Pak Haji melanjutkan dengan suara pelan:
“Pak, sebelumnya apa istri Bapak sering bercerita kepada bpk sebelum ia meninggal.
Betul pak, ia selalu bertanya-tanya… apakah dirinya sudah menjadi seorang istri yang sholehah.”
Mendengar itu, dada sang suami semakin sesak air mata mengalir tak henti. Ia teringat keseharian istrinya, doa-doanya, dan ketulusannya sebagai pendamping hidup. Dalam duka yang mendalam, terselip rasa haru dan bangga — bahwa perempuan yang ia cintai berpulang dengan wajah yang bersih dan senyum yang menenangkan.
Tak lama setelah itu, jenazah almarhumah pun dipersiapkan untuk dipulangkan. Dari Jakarta menuju rumah, sesampainya di rumah suami menangis dan suami merasakan pertolongan allah SWT itu nyata. Cuaca mau turun hujan namun tidak terjadi hujan. Tenda kursi dan perlengkapan pemandian dan pelayat memenuhi dan mendoakan almarhumah bahkan selesai di mandikan sang suami turut memandikan setelah di bungkus kain putih sang suami mencium untuk terakhir kali bersama putri kecilnya yg berusia 1 tahun lebih. Kemudian ikut mensolatkan lalu diberangkatkan ke Solo — kampung halaman yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya bahkan banyak tetangga yg turut mengantar sebanyak 3 mobil mengiringi jenajah cuaca mendung namun tak turun hujan.
Perjalanan itu bukan sekadar memindahkan jasad, tetapi mengantar cinta, kenangan, dan doa. Sang suami melepas kepergian istrinya dengan hati yang hancur, namun juga dengan keyakinan:
bahwa almarhumah telah pulang menghadap Allah SWT dalam keadaan terbaik.








