Pernikahan, sudah merupakan sunnatullah yang berlaku secara umum dan perilaku makhluk ciptaan Tuhan, agar dengan pernikahan atau perkawinan kehidupan di alam dunia ini bisa berkembang untuk meramaikan alam yang luas ini dari generasi ke generasi berikutnya. Pernikahan atau perkawinan adalah bagian dari tuntutan naluri yang berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh karena manusia sebagai makhluk yang berakal, maka bagi manusia pernikahan ataun perkawinan merupakan salah satu budaya untuk berketurunan guna kelangsungan dan memperoleh ketenangan hidupnya, yang beraturan dan mengikuti perkembangan budaya manusia. Dalam masyarakat sederhana budaya pernikahan adalah dalam bentuk yang sederhana, sempit dan bahkan tertutup, sedangkan dalam masyarakat modern budaya pernikahannya maju, luas serta terbuka. Pernikahan sudah ada dalam masyarakat yang sederhana sekalipun, karena ia dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat dan para pemuka agama dan pemuka adat. Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan pernikahan. Aturan-aturan tersebut terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasan pemerintahan dan di dalam suatu negara. Pernikahan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada. Ia bisa dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. pernikahan (biasa disebut dengan nikah), merupakan suatu cara yang dipilih Allah untuk menjaga kelangsungan hidup manusia di muka bumi dengan tujuan menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia. Bagi orang Islam pernikahan disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Ilahi.
Di dalam al-Qur’an contohnya Allah berfirman, antara lain: “Tiap-tiap sesuatu Kami jadikan berpasang-pasangan (jantan dan betina), agar kamu sekalian mau mengingat akan kebesaran Allah”. (QS. al-Dzâriyât/51: 49 selanjutnya “Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan semuanya, di antaranya apa-apa yang ditumbuhkan bumi dan dari diri mereka sendiri dan lain-lain yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yâsîn/36: 36).
Pernikahan dalam masyarakat yang sederhana sekalipun, harus menjunjung tinggi nilai religiusitas yang wajib dipertahankan oleh masyarakat dan para pemuka agama serta pemuka adat. Masyarakat pada dasarnya telah menetapkan cara-cara tertentu untuk dapat melangsungkan pernikahan. Aturan-aturan tersebut terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasan pemerintahan dan di dalam suatu negara. pernikahan tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada. Ia bisa dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan, tetapi tidak akan merubah nilai filosofi dan esensi dari pernikahan itu melalui tuntunan kepercayaan agama atas keesahan tuhan.
Pernikahan sesama jenis tentunya selalu menjadi topik yang mengundang perdebatan dan kontroversi di masyarakat. Namun, ini sebuah peristiwa mengejutkan dan menyinta perhatian publik yang baru-baru ini terjadi di Desa Sekli, Kecamatan Gane Barat Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, yang mengubah pandangan banyak orang terhadap isu ini. Pada Kamis, 16 Mei 2024, media sosial dihebohkan dengan viralnya sebuah pernikahan sesama jenis yang terjadi di desa tersebut. Berdasarkan laporan dari indotimur.com, Kepala Desa Sekli, Malik, membenarkan bahwa pasangan yang menikah di desa itu adalah sesama jenis. (silamparitv.disway.id/valentine/rizty_20/5/2024). Hal ini menjadi sebuah kejutan bagi publik, karena di wilayah ini, pernikahan sesama jenis masih dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan jarang terjadi. Pengantin perempuan yang sebelumnya diduga berasal dari Halmahera Tengah (Halteng), ternyata setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, diketahui memiliki jenis kelamin laki-laki. Kades Malik mengungkapkan bahwa kasus ini terbongkar setelah pihak desa melakukan pengecekan status mempelai perempuan, yang pada akhirnya mengungkap fakta mengejutkan bahwa yang bersangkutan sebenarnya adalah seorang laki-laki.
Diagnosis Orientasi Identitas Gender
Kejadian menciptakan gelombang diskusi dan perdebatan di masyarakat lokal maupun di dunia maya. Banyak yang terkejut dengan fakta bahwa pernikahan sesama jenis bisa terjadi di sebuah desa kecil di pedalaman Maluku Utara. Namun, dibalik kejutan tersebut, muncul pula beberapa pertanyaan dan refleksi mendalam tentang bagaimana pandangan kita semua terhadap isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) di Indonesia. Pertama-tama, kehadiran pernikahan sesama jenis di Desa Sekli menggugah kesadaran kita sebagai manusia yang bertuhan akan pentingnya memahami orientasi seksual dan identitas gender dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tak lepas dari pengawasan tuhan bukan sebaliknya cara manusia melupakan tuhan. Ini menunjukkan bahwa keberagaman seksual dan identitas gender tidak bisa diabaikan, dan setiap individu memiliki hak yang sama untuk mencintai tetapi perlu adanya keseimbangan nilai aksiologi, adab, etik dan estetik tentunya, dalam hubungan manusia satu dengan manusia lainnya, dan juga manusia dengan sang khalik (Tuhan).
Kejadian ini membuka ruang diskusi yang lebih luas tentang perlunya ketegasan Adab, etik dan moral social yang dianggap baik untuk diterapkan secara de facto dan de jure dalam pendekatan yuridis maupun religiutas bagi meraka yang dianggap menyimpang dalam tatan kehidupan individu, dan social masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran kolektif melalui nilai dan tatanan kehidupan yang bukan hanya menjujung nilai hak asasi manusia yang bebas dan tak beradab, tetapi juga upaya bersama dari seluruh masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, menjunjung tinggi adab, adat dan istiadat serta nilai kearifan local yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat setempat, bukan mala sebaliknya menggeser nilai etika moral dan filosofi agama. Selain itu, pernikahan sesama jenis di Desa Sekli juga memicu pertanyaan tentang peran dan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi hak-hak asasi manusia bagi semua warganya tetapi tidak mengabaikan etika moral kehidupan berbasis nilai agama secara epistimologi. Terlepas dari kontroversi dan perdebatan yang timbul, pernikahan sesama jenis di Desa Sekli merupakan sebuah tonggak sejarah yang mengingatkan kita akan pentingnya menghormati dan menghargai adat dan budaya serta harkat dan martabat yang telah lama rawat sesui nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang beradab.
Selain itu dalam pendekatan ilahiah (Tuhan) sang pencipta, penulis mengutip pendapat Fadillah Nurilahia, melalui pesan digrup whatsapp alumni dan awardee lpdp/maluku utara, (21/5/2024). “Sejak awal penciptaan manusia, hanya ada dua, laki- laki dan perempuan. Manusia dengan akalnya yang terbatas dan kepentingannya yang tidak terbataslah yang merusak tatanan awal tujuan penciptaan manusia di bumi.” makna dari pesan singkat yang disampaikan merupakan wujud akan eksistensi kemanusiaan kita sebagai mahluk Tuhan yang disebut manusia.
Dalam pidato di Templeton Prize pada tahun 1983, Aleksandr Solzhenitsyn memberikan pernyataan yang sahih atas krisis yang melanda negara-negara Barat saat itu, termasuk meluasnya kemurtadan, perpecahan keluarga, hilangnya tujuan bersama, erotomania, penghapusan batasan antara laki-laki dan perempuan, dan semangat untuk saling bersosialisasi sehingga menimbulkan kehancuran yang menyalahi kesucian hidup manusia. Karena itu manusia tidak lagi peduli atas perintah tuhan bahkan telah melupakan Tuhan. Kita harus memahami bagaimana dan mengapa mereka mengabaikan perintah Tuhan, jika kita telusuri dan mendiagnosis penyakit ini merupakan bagian dari penyimpangan gender yang tentunya tidak harus dibiarkan atas dasar agama dan amanat konstitusi negara.***