Jakarta wartamerdeka.com – Juru bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tessa Mahardhika Sugiarto menanggapi soal dugaan korupsi penyelenggaraan haji yang menyeret Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas. Ia mengatakan belum ada rencana pemanggilan Menag Yaqut terkait kasus ini.
Tessa juga mengklaim KPK belum berkomunikasi dengan pansus haji soal dugaan korupsi ini. “Belum ada,” tuturnya pada awak media Rabu, 7 Agustus 2024.
Tessa mengatakan,”Saat ini pihaknya masih menelaah lima laporan masyarakat terkait pelaksanaan ibadah haji 2024 di Kementerian Agama ini. Ketika ditanya apakah semua laporan tersebut sudah lengkap, dia mengatakan informasi tersebut bersifat rahasia. “Saya tidak bisa mendapat info tersebut karena tidak ada akses ke sana,” katanya.
Tessa sebelumnya mengatakan suatu perkara bisa ditindaklanjuti apabila barang bukti lengkap. Menurut Tessa barang bukti tersebut bisa didapat dari laporan masyarakat dan laporan audit keuangan dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Tessa mengatakan,”Sebuah perkara itu bisa ditindaklanjuti bisa dari berbagai sumber. Pertama, dari laporan masyarakat tentunya disertai dengan kelengkapan dokumen atau administrasi. Yang kedua ada penyampaian hasil audit dari baik BPK maupun BPKP,” saat di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Senin, 5 Agustus 2024.
laporan masyarakat terkait kasus dugaan korupsi kuota haji sedang dalam proses penelaahan di Direktorat Pengaduan Masyarakat maupun di Direktorat Penyelidikan. “Apabila perkaranya naik itu sifatnya rahasia. Jadi belum bisa dibuka ke publik apabila sudah naik ke penyelidikan,” Kata Juru bicara (Jubir) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Tessa Mahardhika Sugiarto.
Sudah lima kelompok masyarakat sebelumnya yang melaporkan perkara tersebut dalam sepekan ini. Terbaru, dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda untuk Keadilan Rakyat (KR) atau Amalan Rakyat (AR).
Raffi sebagai Koordinator Amalan Rakyat (KAR) mengatakan Menag Yaqut diduga telah menyalahgunakan wewenang dan melakukan perbuatan melawan hukum terkait pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus sebesar 50 persen secara sepihak.
Hal tersebut dianggap melanggar Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Berdasarkan undang-undang (UU) tersebut, kuota haji khusus ditetapkan hanya sebesar 8 persen dari kuota haji Indonesia (KHI).