Luka di Hati Seorang Anak
Sejak ibuku meninggal dunia, duniaku terasa berubah. Tak lama kemudian, bapak menikah lagi dengan seorang gadis. Aku berharap akan mendapatkan sosok ibu pengganti, tempat bersandar dan berbagi kasih. Namun kenyataan berkata lain.
Setelah menikah, ibu tiriku tidak ingin bapak mengajakku tinggal bersama mereka. Katanya, ia malu memiliki suami seorang duda yang sudah punya anak. Aku pun tetap tinggal bersama nenek, satu-satunya tempat yang memberiku rasa aman dan kasih sayang. Dari rumah nenek, aku melihat bapak memulai hidup barunya, sementara aku belajar menerima bahwa aku bukan lagi bagian dari rumah itu.
Hari berganti hari, waktu terus berjalan. Hingga suatu saat ibu tiriku melahirkan anak pertamanya, seorang bayi perempuan. Hatiku justru dipenuhi rasa senang—aku punya adik. Apalagi ketika mereka pindah ke kampung bapak, rumahnya tak jauh dari tempat nenek merawatku. Aku sering membayangkan bisa bermain bersama adikku, menemaninya tumbuh, dan merasakan kembali hangatnya keluarga.
Aku sayang adikku. Tapi ibu tiriku tak pernah benar-benar menginginkan kehadiranku. Ia hanya bersikap baik saat bapak ada di rumah. Jika bapak pergi, tatapannya berubah dingin, kata-katanya tajam, seolah aku hanya tamu yang tak diharapkan.
Bapak punya kebun jeruk, rambutan, dan jambu. Suatu hari aku memetik buah rambutan yang sudah matang, sekadar melepas rindu pada manisnya kebun milik bapak. Tapi perbuatanku ketahuan ibu tiri. Ia marah, lalu melempariku dengan tanah merah yang kering dan mengeras. Lemparan itu mengenai tubuhku, menimbulkan luka.
Luka di badan mungkin bisa sembuh. Tapi luka di hati—rasa ditolak, dipermalukan, dan disakiti—tak pernah benar-benar hilang. Ia tinggal dalam ingatan, menjadi perih yang kubawa sampai dewasa.
Dalam tangis dan doa, aku sering bertanya,
“Ya Allah SWT, apakah semua ibu tiri itu jahat?”
Aku tahu, mungkin tidak semua. Tapi bagiku, masa kecil itu telah mengajarkanku arti perih sejak dini—tentang rindu pada kasih seorang ibu, dan tentang bagaimana seorang anak bisa tumbuh dengan luka yang tak terlihat.
Tangis di Balik Senyum: Derita Anak Lelaki dengan Ibu Tiri








