banner 728x90

Negara Hadir Utuk Siapa? Ayah Bayi 4 Bulan di Jerat Pasal Berat Gegara Sawit 80 Kilo

Screenshot 20251210 205713
banner 120x600

TAPUNG HULU KAMPAR, Wartamerdeka.com – Ketika hukum seharusnya berpihak pada rasa keadilan, justru kini masyarakat kembali dikejutkan dengan praktik penegakan hukum yang dianggap lebih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Seorang karyawan rendahan PT. ATS II (Arindo Tri Sejahtera Dua) (Kedua Nama Tersangka) harus diseret ke proses hukum layaknya kriminal kelas berat hanya karena kedapatan mengambil brondolan sawit 80 kilogram, dengan nilai kerugian diperkirakan tak sampai harga sepasang ban motor tua, hanya sekitar Rp 400 ribu.

Screenshot 20251210 205618

Namun nilai kecil itu tidak mengubah sikap tegas aparat. Penyidik Polsek Tapung Hulu menetapkan pekerja tersebut sebagai tersangka dengan dugaan pasal 372/374 KUHP, pasal yang kerap digunakan untuk kasus penggelapan berbasis jabatan atau nilai kerugian besar. Publik menilai pasal ini terlalu sadis, tidak proporsional dan diduga “pasal pesanan”.

PERUSAHAAN MANGKIR, NEGARA JADI ALAT KORPORASI?

Pemerintah Desa Sumber Sari melalui Kepala Dusun V bernama Guna, Camat Tapung Hulu (Diwakili Oleh Sam), serta Ketua dan Sekertaris Pers Keadilan Tapung Hulu sudah dua kali mengundang perusahaan melalui Polsek untuk mediasi melalui jalur Restorative Justice.

Namun jawaban PT. ATS II justru diam total dan mangkir dua kali, termasuk panggilan resmi pada Rabu, 10 Desember 2025. Tidak ada surat alasan, tidak ada itikad, tidak ada empati.

Sikap itu memunculkan pertanyaan publik, Siapa yang sebenarnya berkuasa? Polsek atau perusahaan? Negara atau korporasi?

KETIKA HUKUM KEHILANGAN RASA MALU

Dalam negara hukum, diskresi adalah ruang kemanusiaan. Namun dalam kasus ini, diskresi seolah dipasung. Penyidik memilih jalur pidana maksimal, sementara rakyat melihat: Nilai kerugian kecil, Pelaku pekerja rendahan, Pelaku warga setempat, Pelaku punya bayi 4 bulan, Ada permohonan maaf resmi keluarga,Solusi damai sudah diminta pejabat desa dan kecamatan,Namun semua itu tidak digubris.Jika hukum tidak lagi mempertimbangkan manusia di balik kasus, maka yang bekerja bukan hukum — melainkan mesin tanpa hati.

TANGIS ISTRI KORBAN: “KAMI HANYA INGIN HIDUP, BUKAN DISIKSA”

Istri tersangka bahkan rela menandatangani permohonan maaf tertulis dan siap menerima pemecatan suaminya tanpa pesangon, hanya agar suaminya tidak dipenjara. Namun langkah kemanusiaan itu tidak menggerakkan perusahaan dan tidak menggetarkan aparat.

Kini nasib seorang ayah, sumber nafkah keluarga, digantung pada keputusan yang lebih terasa seperti balas dendam korporasi daripada penegakan hukum.

JAWABAN KAPOLSEK: FORMAL, DINGIN, TANPA RASA

Saat dikonfirmasi wartawan, Kapolsek Tapung Hulu, Iptu Riko Rizki Mazri SH MH hanya membalas:

“Terima kasih banyak Bg..
Baik Bg…
Segera kami berikan jawaban secara Resmi..
Untuk memberikan Kepastian Hukum”

Jawaban itu kini menjadi sorotan, karena lebih terdengar seperti template hukum steril, bukan respon dari seorang pemimpin yang seharusnya memiliki pandangan moral, sosial, dan rasa keadilan.

PERTANYAAN BESAR UNTUK NEGARA:
Jika rakyat kecil mencuri brondol 80 kilogram dihukum…
Sementara diduga perusahaan mencuri tanah, ruang hidup, dan kesempatan masyarakat, mengapa negara tiba-tiba jadi bisu, buta, dan tuli?

Jika hukum diperlakukan seperti komoditas, lalu:

“Apakah hukum masih menjadi alat keadilan, atau kini berubah menjadi budak korporasi?”

Kasus ini bukan sekadar soal sawit 80 kilogram.
Ini adalah potret bagaimana keadilan di negeri ini bisa dibeli, diarahkan, dan diperintah.

Dan jika benar aparat bisa kalah oleh permintaan perusahaan, maka:

*Yang dicuri bukan 80 kilo sawit.
Yang dicuri adalah keadilan, martabat, dan masa depan manusia kecil.(Tim)