banner 728x90

Muhammadiyah Akhirnya Menerima Izin Usaha Pertambangan.

Screenshot 20240729 185529
banner 120x600

JAKARTA wartamerdeka.com -Organisasi yang membawa visi pencerahan, Muhammadiyah lekat dengan simbol matahari,kini sang surya mengikuti jejak Nahdlatul Ulama (NU).

Muhammadiyah sempat bimbang, organisasi masyarakat alias (ormas) keagamaan yang telah berdiri sejak 1912 atau 112 tahun lalu itu, akhirnya menerima tawaran konsesi tambang.  

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan,”keputusan Muhammadiyah menerima izin pengelolaan tambang bukanlah tanpa dasar.

Muhammadiyah mengklaim keputusan itu telah sesuai dengan pasal 7 ayat 1 anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PP Muhammadiyah. “Yang berbunyi untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan,”Tegas Abdul saat konferensi pers di Yogyakarta,pada Minggu (28/7/2024).

Keputusan Muhammadiyah itu cukup kontroversial, apalagi sektor pertambangan telah lama dicurigai sebagai pemicu deforestasi dan berbagai macam bencana ekologi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, pernah mengeluarkan kajian yang menyebut 521 perusahaan melakukan aktivitas pertambangan dalam kawasan hutan dengan luas 370.410 Ha,”Di Kalimantan, demikian bunyi kajian itu, ada seluas 131.699 Ha dari 226.687 Ha usaha pertambangan dalam kawasan hutan tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga mengungkap sebanyak ratusan perusahaan belum memenuhi kewajiban rehabilitasi lingkungan pasca tambang. Akibatnya negara berpotensi mengalami kerugian hingga ratusan triliunan rupiah. 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap Kepatuhan atas Pemenuhan Kewajiban Pemegang Perizinan Berusaha dan Persetujuan Lingkungan Terhadap Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2020 – 2023 menyoroti tiga aspek krusial dalam isu pemenuhan rehabilitasi lingkungan.

Pertama, pemegang perizinan berusaha terindikasi belum memulihkan fungsi lingkungan hidup pada areal Ijin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah habis masa atau dicabut seluas kurang lebih 179.455 hektare. Sementara proses peninjauan terhadap data penempatan jamrek/jamtup diketahui hanya 159 dari 2.026 yang telah menempatkan jaminan dengan total nilai jaminan reklamasi dan pasca tambang senilai Rp5,9 triliun dan US$1,84 miliar. Nilai jaminan tersebut lebih rendah dibandingkan potensi nilai kerugian yang teridentifikasi berdasarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2014 adalah senilai Rp84,3 triliun,” jelas laporan itu.

Kedua, pemegang perizinan berusaha terindikasi belum memulihkan fungsi lingkungan hidup pada areal bekas pertambangan tanpa IUP seluas kurang lebih 253.242,66 hektare.BPK mencatat akibat praktik tidak terpuji tersebut, terdapat potensi nilai kerugian lingkungan senilai Rp119,4 triliun. Jumlah kerugian itu terdiri dari biaya pemulihan senilai Rp55,6 triliun, penggantian biaya penyelesaian sengketa Rp1,3 triliun dan kerugian ekosistem Rp62,4 triliun.

Ketiga, pemegang perizinan berusaha terindikasi belum memulihkan fungsi lingkungan hidup pada IUP yang akan habis masa dalam dua tahun seluas kurang lebih 133.901,70 hektare belum dilakukan reklamasi. Lembaga auditor negara itu menemukan bahwa akibat belum dilakukan reklamasi pasca tambang, potensi kerugiannya mencapai Rp61,9 triliun. Jumlah itu terdiri dari biaya pemulihan senilai Rp29,4 triliun, penggantian biaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup senilai Rp190,2 miliar, dan kerugian ekosistem senilai Rp32,37 triliun. Adapun BPK telah menelusuri lebih lanjut pada data jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang, diketahui bahwa dari 492 pemegang IUP hanya 61 pemegang IUP yang telah menempatkan jaminan dengan total nilai jaminan reklamasi dan pasca tambang senilai Rp3,39 triliun dan US$119 juta. 

Nilai jaminan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan taksiran nilai pemulihan atas potensi kerugian lingkungan pada tabel di atas sehingga terdapat IUP yang belum menempatkan jaminan. Kekhawatiran dari Senayan Tingginya risiko dari keputusan Muhammadiyah yang menerima ‘hadiah’ tambang dari pemerintahan Jokowi rupanya memicu komentar dari kalangan politisi. Partai Amanat Nasional, yang pada awal pembentukannya identik dengan Muhammadiyah, mengingatkan Muhammadiyah agar berhati-hati dalam pengelolaan tambang.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PAN Eddy Soeparno, mengaku sudah kerap mengingatkan mudarat pengelolaan tambang tanpa prinsip kehati-hatian setelah pemerintah menawarkan WIUPK bekas PKP2B secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi masyarakat (ormas) keagamaan seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2024.

Eddy mengatakan,”Selama ini usaha pertambangan batu bara erat dikaitkan dengan kerusakan lingkungan dan emisi karbon, karena itu kami berharap Muhammadiyah dapat menunjukkan kepada publik bahwa pengelolaan usaha tambang batu bara mereka kelak dilakukan secara bertanggung jawab dan patuh pada kaidah-kaidah pelestarian lingkungan.

Ia ingin Muhammadiyah menjadikan aspek lingkungan sekaligus kebermanfaatan ekonomi untuk umat sebagai prioritas utama dalam mengelola pertambangan. Oleh sebab itu, lanjutnya, pihaknya akan siap mendampingi Muhammadiyah terutama dalam memilih mitra pengelola tambang. Menurutnya, ormas keagamaan sangat berpotensi hanya menjadi tumpangan pengusaha tambang untuk memperluas wilayah usahanya.

Eddy menjelaskan,”Jangan sampai Muhammadiyah nantinya dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bekerja profesional dan justru mencederai reputasi Muhammadiyah ke depannya.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto terkejut dengan keputusan Muhammadiyah yang siap menerima IUP dari pemerintah. Mulyanto khawatir keputusan tersebut akan mencederai harapan masyarakat terhadap kemandirian dan independensi Muhammadiyah di hadapan pemerintah seperti yang kerap terjaga selama ini. “Saya terkejut dengan keputusan tersebut. Tidak biasanya Muhammadiyah membuat keputusan di luar harapan masyarakat. Biasanya Muhammadiyah dan para tokohnya cukup kritis terhadap kebijakan pemerintah yang ada, apalagi kebijakan yang terjadi pro-kontra di dalam masyarakat,”Kata Mulyanto pada Senin (29/7/2024).

Muhammadiyah seakan menyetujui bahkan mendukung substansi norma yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 25/2024 meski disoroti masyarakat. Dalam beleid tersebut, pemerintah menawarkan WIUPK bekas PKP2B secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas keagamaan.

Muhammadiyah terkesan turun derajat lewat keputusan tersebut. Menurutnya, poin penting dari masalah PP No. 25/2024 adalah pelanggaran atas UU No. 3/2020 tentang Pertambangan Minerba,”Ujar Mulyanto.

Terkait pasal yang mengatur tentang pemberian prioritas penawaran WIUPK yang merupakan wilayah eks PKP2B kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Mulyanto menjelaskan,”Dalam Pasal 75 ayat (3) dan (4) UU Minerba, prioritas diberikan kepada BUMD/BUMD. Untuk badan usaha swasta pemberian WIUPK dilakukan melalui proses lelang yang fair, tidak seperti PP No. 25/2024 yang mana ormas keagamaan ditawarkan konsesi tambang secara prioritas. “Sebenarnya niat baik pemerintah untuk membantu ormas keagamaan tersebut akan lebih aman secara regulasi kalau dilakukan melalui pemberian partisipating interest atau bantuan melalui dana CSR usaha sektor pertambangan bukan melalui pemberian konsesi tambang.

Sembilan Alasan Muhammadiyah Adapun Sekjen Muhammadiyah Abdul Mu’ti sejatinya telah menjelaskan alasan organisasinya menerima izin tambang dari pemerintahan Jokowi. secara ringkas mengungkap 9 poin yang menjadi dalil Muhammadiyah untuk mengelola tambang.

Pertama, pengelolaan WIUP ini sesuai dengan apa yang tertuang dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) PP Muhammadiyah, salah satunya yang terdapat dalam pasal 7 ayat 1 anggaran dasar PP Muhammadiyah.

Kedua, Abdul menyampaikan bahwa pengelolaan WIUP ini sesuai dengan pasal 33 undang-undang dasar (UUD) 1945. Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ketiga, Keputusan Muktamar ke-47 Muhammadiyah di Makassar tahun 2015 yang mengamanatkan kepada pimpinan pusat Muhammadiyah untuk memperkuat dakwah dalam bidang ekonomi selain dakwah dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, tablik, dan bidang dakwah lainnya.

Keempat, dalam mengelola tambang Muhammadiyah berusaha semaksimal mungkin dan penuh tanggung jawab melibatkan kalangan profesional dari kalangan kader dan warga persyarikatan, masyarakat di sekitar area tambang, dan sinergi perguruan tinggi serta penerapan teknologi yang meminimalkan kerusakan alam.

Kelima, Abdul menuturkan bahwa Muhammadiyah akan bekerja sama dengan mitra yang berpengalaman mengelola tambang memiliki komitmen dan integritas yang tinggi.

Keenam, pengelolaan tambang dilakukan dalam batas waktu tertentu dengan tetap mendukung dan melanjutkan usaha-usaha pengembangan sumber energi yang terbarukan serta membangun budaya hidup bersih serta ramah lingkungan.
Apabila pengelolaan tambang lebih banyak menimbulkan mafsadat (kerusakan) maka Muhammadiyah secara bertanggung jawab akan mengembalikan izin usaha pertambangan kepada pemerintah,” tutur Abdul.

Ketujuh, Muhammadiyah berusaha mengembangkan model yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan sosial. Lalu, pemberdayaan masyarakat membangun ekosistem yang ramah lingkungan riset dan laboratorium pendidikan, serta pembinaan jamaah dan dakwah jamaah.

Kedelapan, Muhammadiyah membentuk dan menunjuk tim pengelola tambang yang dipimpin oleh Muhadjir Effendy.

Kesembilan, tim memiliki tugas, wewenang dan tanggung jawab yang akan ditetapkan kemudian dalam surat keputusan PP Muhammadiyah.

Penulis: sawijanEditor: Sawijan wartamerdeka.com