Tangerang|WartaMerdeka.com — Peristiwa pagar laut di Tangerang menimbulkan perhatian publik. Pasalnya, pada Tanggal 14 Agustus 2024, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten menerima laporan tentang aktivitas pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer diperairan Kabupaten Tangerang. Pemagaran dalam hal ini, berupa bentuk bambu-bambu yang ditancapkan ke dasar laut dan memanjang sejauh 500 meter dari pesisir pantai.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Pada 19 Agustus 2024, melakukan pengecekan langsung dan menemukan pagar tersebut baru mencapai panjang sekitar 7 kilometer. Tim Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten ini kemudian kembali lagi pada 4-5 September 2024 bersama Polisi khusus (POLSUS) dari kementerian kelautan dan perikanan (KKP) dan beberapa kepala desa setempat untuk diskusi lebih lanjut.
Terkait dengan Penyegelan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan Penyegelan pagar laut tersebut pada 9 Januari 2025 karena tidak memiliki izin resmi dan berada dalam zona penangkapan ikan serta pengelolaan energi.
Pada 10 Januari 2025 pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut menginstruksikan pembongkaran pagar laut secara sukarela dalam waktu 20 hari.
Dalam hal Penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas pagar laut di Tangerang melibatkan berbagai faktor dan dugaan penyimpangan, maka dari itu penuh dengan sebuah pertanyaan Mengapa kok bisa terbit HGB Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).
Adanya pagar laut merupakan salah satu pelanggaran hukum. Sebab adanya pemalsuan dokumen, dan ada indikasi bahwa sertifikat tersebut diterbitkan dengan dasar data yang tidak akurat atau dipalsukan.
Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR), penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) terjadi karena prosedur yang cacat baik secara material maupun administratif. Penerbitan sertifikat tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan peraturan mengenai pemanfaatan ruang laut.
Adapun Dasar hukum yang diduga terkait dengan pagar laut yang terjadi di Tangerang adalah sebagai berikut :
– Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil.
Pasal 17 Menyebutkan bahwa setiap pemanfaatan ruang laut harus mendapatkan izin pemanfaatan ruang laut (IPRL).
– Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 36 Menyebutkan bahwa setiap kegiatan yang berdampak penting pada lingkungan wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika pemagaran ini menyebabkan gangguan ekosistem laut, pelaku pemagaran dapat dikenakan sanksi.
– Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Pasal 7 Menyebutkan bahwa setiap kegiatan yang merugikan nelayan kecil atau menghalangi akses mereka ke wilayah penangkapan ikan dapat dianggap melanggar hukum.
Kasus pagar laut di Kabupaten Tangerang
yang masih misterius belakangan ini, selayaknya para aparat penegak hukum mengusut tuntas secara profesional, Transparan, dan akuntabel.
Siapa pun yang terlibat dalam kasus pagar laut, harus diproses hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (Equality Before the Law).
Perbuatan ini merupakan salah satu unsur perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Editor|ManWen.Wmc